"Mas, bangun...sudah sampai", suara kondektur menyadarkanku dari tidur lelapku. Perjalanan Jogjakarta-Sukabumi terasa singkat karena sebagian besar kuhabiskan dengan tidur di bis ini. Aku keluar masih dalam keadaan setengah sadar, melihat sekeliling terminal yang menyimpan banyak kenangan semasa sekolah dulu, tidak banyak berubah, pohon beringin besar di tempat keluar bis itu masih ada, hanya saja terlihat lebih renta, daun-daunnya sudah sangat sedikit. Lima tahun ku tinggalkan kota kelahiranku ini, merantau di Jogja hingga hari ini aku pulang.
Ku lihat jam di tangan menunjukan pukul 2 pagi, untuk sampai ke rumah aku masih harus naik angkot lagi 2 kali, tapi ku lihat sekeliling masih sepi hingga kuputuskan untuk mampir dulu di sebuah warung. "Kopi hitam satu bu" ucapku pada ibu penjaga warung, ku keluarkan rokok di saku jaket dan ku ambil satu batang, ku nyalakan lalu ku letakan sisanya di meja.
Ku hisap dalam rokokku sambil membayangkan apa kira-kira usaha yang akan ku buat nanti, hingga sebuah suara lembut menyadarkanku dari lamunan itu "A minta rokok nya ya", aku tertegun tak sempat menjawab tapi ia sudah mengambil satu batang rokok lalu meletakan sisanya lagi di meja. Yang ku lihat adalah seorang wanita muda dengan pakaian seksi, cantik tapi nampak ada sejuta kemuraman di matanya. Tapi bukan itu yang benar-benar membuatku tak berkedip saat melihatnya, aku mengenalnya, ya aku mengenalnya, ia adalah Rani, aku tak mungkin lupa tahi lalat di dagu nya, mata nya yang sayu dan bulu alis nya yang tebal, seorang wanita yang pernah menolak cintaku semasa SMA dulu, tidak masalah buatku saat seorang wanita menolak cintaku, tapi caranya mempermalukanku dengan memperlihatkan surat cinta ku dan mengolok-olok ku di depan teman-teman benar-benar meruntuhkan harga diriku saat itu, sejak kejadian itu aku tak pernah menyapanya, aku benar-benar sakit hati. Melihat penampilannya aku jadi bertanya-tanya, mungkin kah ia jadi wanita malam atau sejenisnya, tapi mana mungkin sih, Rani yang ku kenal dulu adalah seorang primadona di sekolah, banyak teman-temanku yang naksir termasuk aku. Ku tepis pikiran-pikiran itu, mungkin ia juga baru pulang dari luar kota dan menunggu angkot di sini.
Lama ku perhatikan ia, sepertinya ia tak mengenaliku lagi, penampilanku memang sudah sangat berubah dibandingkan dengan dulu, sekarang aku memelihara jenggot, wajar ia tak mengenali ku.
Tak lama kemudian ia menyapa ku "baru ya mas di sini?", "ngga juga" jawabku singkat, ia menawariku untuk berkencan dengannya malam itu tapi ku tolak dengan halus, sekarang aku benar-benar yakin kalau ia adalah seorang wanita malam, tapi kenapa? aku tak habis pikir. Lalu aku memberanikan diri bertanya "Rani kan?" ia nampak kaget lalu menatapku "kok tau, kamu siapa ya?" ucapnya, "Aku Regi, teman SMA dulu". Mendengar jawabanku ia nampak membuang rokoknya lalu seperti ingin cepat-cepat pergi tapi ku tahan dengan memegang lengannya, "tunggu, aku ga mau apa-apa kok, cuma pengen ngobrol aj", ia duduk kembali dengan menundukan wajahnya. "Kamu kenapa jadi seperti ini?", "bukan urusanmu...!!!" jawabnya, " aku tau bukan urusanku, mungkin ini semua jalan yang sudah kamu pilih, tapi..." tiba-tiba ia memotong ucapanku "ini bukan pilihanku gi, aku ga mau seperti ini, aku mau hidup normal seperti wanita lainnya, menikah, mengurus anak, melayani suami tapi aku terpaksa..." ucapannya berhenti seiring suara tangis dan air matanya yang jatuh. Aku hanya diam, setelah emosinya reda dan ia nampak bisa mengendalikan dirinya, ia bercerita bagaimana semua bisa jadi seperti itu. Pacarnya meninggalkannya dalam keadaan hamil tanpa mau bertanggung jawab, hingga terpaksa ia menggugurkan janin yang dikandungnya, ibu nya sakit-sakitan dan membutuhkan banyak biaya dan sampai saat ini tidak bisa membawanya ke rumah sakit, tak ada seorangpun yang peduli hingga dengan terpaksa ia menjalani semua itu. Aku cukup mengerti dengan keadaannya, "lebih baik kamu pulang sekarang, aku antar, besok kita bawa ibu mu ke rumah sakit ya", "tapi...", aku memotongnya "sudahlah, biaya kan? semuanya biar aku yang tanggung" jawabku, tak ada kata-kata yang ia ucapkan, tangisnya kembali meledak, sampai aku mengantarkan pulang ke rumahnya.
Pagi-pagi sekali aku ke rumahnya, seperti janjiku semalam, aku mengetuk pintu rumahnya, ia mempersilahkanku masuk, ku lihat ibu nya tergolek lemas di ruang tamu tanpa kursi ini, badannya kurus dan nampak lemas. "kenapa kamu mau melakukan ini? dulu aku sudah membuat kamu sakit hati", ucapnya "itu masa lalu, aku sudah melupakannya, aku masih teman mu, sudah seharusnya saling membantu". Kembali ia terdiam, entah apa yang ada di pikirannya saat itu. "Sebaiknya kita bawa ibu mu ke rumah sakit sekarang" ucapku memecah keheningan, ia mengangguk lalu segera ku papah ibu nya untuk naik ke mobil yang sudah ku sewa.
Satu minggu di rumah sakit keadaan ibu nya berangsur pulih, selama itu pula aku selalu menyempatkan diri untuk menjenguk dan menemani nya, hubungan kami semakin dekat, karena sesungguhnya perasaanku padanya tak pernah berubah, seberapa besar pun sakit hati yang pernah ku rasakan. Satu minggu itu banyak waktu kami habiskan untuk bernostalgia, bercerita, mengenang masa-masa sekolah dulu, hari itu ibu nya sudah diperbolehkan pulang.
Sudah 3 hari sejak ibu nya pulang ke rumah, aku tak menemuinya lagi, sebagai teman rasanya kewajibanku untuk membantunya sudah selesai. Malam ini tak ada kegiatan yang ku lakukan, aku memutuskan untuk main ke tempat Rani biasa mangkal. Hampir dua jam ku habiskan di tempat itu, tapi aku tak melihatnya, lalu aku bertanya pada ibu penjaga warung "Rani ke mana bu?", "Dia udah ga pernah ke sini lagi mas, udah ga laku, semua pelanggannya takut", "memangnya kenapa bu?" tanya ku penasaran, "mas ga tau ya? dia kan kena penyakit kelamin", mendengar jawaban ibu warung itu aku sangat kaget, lalu segera permisi pulang.
Keesokan hari nya aku ke rumah nya, nampak sepi, ku ketuk pintu rumahnya, ibu nya membukakan pintu dan mempersilahkan aku masuk, aku tak perlu bertanya Rani ke mana, karena begitu masuk aku melihatnya tergolek lemas di ruang tamu. Ia menatapku, air matanya keluar dari mata nya yang sayu. "Ayo kita ke rumah sakit" ucapku, "Ga usah gi, kamu sudah banyak membantu aku, kamu pasti jijik kalau tau penyakitku" jawabnya, "Ga masalah, aku sudah tau semuanya ko", tanpa menunggu jawabannya aku segera memapahnya ke luar dan menghentikan sebuah angkot untuk membawanya ke rumah sakit.
Tiga hari di rumah sakit keadaanya tidak memperlihatkan perkembangan, tubuhnya semakin kurus, aku setia menungguinya, berharap ia bisa sembuh dan kembali sehat. Rupanya Tuhan berkehendak lain, malam ke empat ia di rumah sakit sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya, ia memberikanku selembar kertas berisi tulisan, lalu ku baca:
Hey gi,
Aku ga nyangka semua akan berakhir seperti ini, bertemu dengan mu adalah sebuah anugrah untukku...
Terima kasih sudah menjadi malaikat ku, peduli pada kehidupanku yang kelam...
Terima kasih sudah mau memberiku sedikit kebahagiaan di penghujung hidupku...
Menyadarkanku arti cinta sesungguhnya...
Membuat aku merasakan apa itu kasih sayang...
Terima kasih sudah menyempatkan banyak waktu mu untukku...
Maafkan kesalahanku di masa lalu...
Maafkan belum sempat aku membalas kebaikanmu...
Semoga Tuhan selalu menjagamu dalam lindungan-Nya...
Jangan nangis ya, kamu pantas mendapatkan yang terbaik...
Rani :)
Sehebat apapun aku sebagai seorang lelaki, saat itu juga aku tak dapat membendung air mata, tangisku pecah seiring ku genggam tangannya saat ia hembuskan nafas terakhirnya, aku melihatnya tersenyum, sangat indah, senyum itu yang pernah ku lihat setiap hari saat sekolah dulu, senyum yang selalu ku rindukan.
Selamat jalan Rani, aku berjanji tak akan pernah menghapus kenanganmu, aku akan selalu menyimpanya di hati, jika suatu hari aku mendapatkan wanita lain yang mengisi hatiku, akan tetap ada ruang khusus untuk mu di hati ku.
Di tulis oleh:
Rahman Hakim
Sukabumi, 17 Oktober 2013
*cerita dan tokoh dalam cerpen hanya fiktif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar