Ditulis oleh Faris Eko pada 18 Juni 2011 jam 9:02
PANGGILAN BAGI SANG TRAVELLER
Dahulu kala, ratusan tahun yang lampau, ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah, salah satu mata pelajaran yang saya gemari adalah pelajaran sejarah. Alasannya jelas, saya selalu menyukai cerita dengan segala epik kepahlawanan dan misteri yang dibawanya. Selalu menyenangkan melihat kebenaran dan kebaikan akhirnya unggul sebagai pemenang. Itu memberi saya banyak harapan ketika nasib buruk betah merundung saya. Itu pulalah yang membuat saya sangat tidak suka sinetron, makin panjang episodenya, makin panjang pula penderitaan tokoh utamanya. Seakan hidup sang tokoh utama memang telah ditakdirkan untuk terus menderita. Mana boleh begitu ?! Lagipula, apa peduli saya ?! Memikirkan nasib buruk sendiri saja sudah menyesakkan apalagi harus ikut-ikutan memikirkan kemalangan Lulu tobing atau Shirene Sungkar atau artis-artis jelita penguras air mata lainnya. Memangnya mereka siapa ?! Pacar ? Istri ? Belum tentu juga saya mau dengan mereka.
Kembali soal pelajaran sejarah. Rasa suka pada sejarah membuat nilai saya pada pelajaran itu selalu sempurna, paling tinggi semasanya, tak pernah terkalahkan. Para guru menyanjung saya sebagai calon sejarawan muda yang fenomenal. Motto saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya dan orang besar adalah orang yang menyukai sejarah bangsanya.
Oleh sebab itu, begitu mendengar bahwa Indonesia memiliki sebuah situs prasejarah terbesar se-asia tenggara, serta merta tergugahlah rasa ke-sejarah-an saya. Saya adalah orang besar yang menyukai sejarah bangsanya. Tanpa pikir panjang dan mengabaikan segala rintangan, saya ambil tas punggung dan segera berangkat kesana, berjalan kaki, menempuh jalan panjang yang sukar dan melelahkan..
Tidakkah kau terpukau dengan rasa kesejarahan saya yang tinggi ?! Saya sarankan jangan. Apa yang kau baca sebelumnya adalah bualan saya semata. Soal kegemaran pada pelajaran sejarah dan sinetron masih masuk akal. Tapi yang lainnya jelas hanya olok-olok belaka. Tak perlu kau pikirkan.
Namun ada satu hal yang mungkin perlu kau pikirkan, karena barangkali itu memang benar adanya. Tahukah kau bahwa negara kita memang memiliki situs prasejarah yang diduga sebagai yang terbesar di asia tenggara ? Situs ini telah sangat lama dilaporkan keberadaannya dan sudah diakui oleh pemerintah sebagai situs sejarah yang dilindungi. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mempelajari dan memperbincangkannya hingga sekarang ini. Nama situs megalitikum itu adalah Gunung Padang, letaknya diantara pegunungan Cianjur, Jawa Barat.
Iseng-iseng saya coba bertanya pada kawan-kawan yang saya kenal, apakah mereka tahu soal situs Gunung Padang. Hasilnya mengherankan. Sembilan dari sepuluh orang mengaku tak pernah mendengarnya. Orang yang tahu, kalau tidak pemerhati sejarah, orang yang kerjanya berpetualang kesana kemari atau pecandu situs kaskus yang memang dipenuhi oleh informasi-informasi seperti ini. Tak bisa disalahkan sebenarnya. Informasi mengenai tempat ini sangat jarang ditemui di buku-buku resmi, bahkan buku rekomendasi wisata ada yang melewatkannya begitu saja.
Pertama kali saya tahu mengenai Gunung Padang adalah dari sebuah milis penggemar kegiatan backpacking. Semenjak itu, tempat ini masuk dalam daftar panjang tempat-tempat yang harus saya kunjungi. Lama menjelang, barulah kemarin saya sempat mewujudkannya. Kisahnya tak seheroik bualan saya, direncanakan dengan spontan tanpa banyak pertimbangan. Saya bahkan tak berani menyebutnya sebagai perjalanan ala backpacker, meskipun saya menyandang tas punggung dan dana aktual yang saya keluarkan sebetulnya tak besar-besar amat. Tapi peduli setan. Sudah lama saya memutuskan untuk tak memusingkan tetek bengek penyebutan itu. Saya akan pergi kemanapun yang saya inginkan dan dengan cara apapun yang saya pilih. Kalau kata Naruto, karakter anime Jepang yang pernah saya gemari, that’s my way of Ninja. Dalam hal ini, that’s my way of travelling..
Perjalanan ini bermula dari sebuah tawaran seorang kawan yang mobilnya sedang tak digunakan di akhir pekan. Otak saya berputar cepat. Naluri travelling saya langsung menyentil. Saya langsung menyambar kesempatan itu. Saya katakan padanya untuk meminjam kendaraannya tersebut, hanya 2 hari selama akhir pekan, tanggal 11-12 Juni 2011. Kawan saya tak keberatan. Saya berjingkrak senang. Namun masih ada satu ganjalan, saya belum sempat belajar untuk mengendarai mobil. Beruntung Pak Min yang saya kenal dari perjalanan sebelumnya bersedia jadi pengendaranya. Klop sudah, tinggal mencari tempat yang dituju dan menawarkan pada kawan yang mungkin mau bepergian bersama.
Semenjak itu, saya mulai rajin berselancar di dunia maya, mencari lokasi-lokasi yang potensial untuk saya kunjungi. Karena kawan pemilik mobil ini berlokasi di Jawa Barat dan mobil hanya tersedia selama akhir pekan, maka pencarian saya arahkan ke tempat-tempat dalam radius beberapa jam dari Jakarta. Saya juga membuka lagi daftar tempat-tempat incaran saya. Kesimpulan sementara ada beberapa pilihan, menjelajahi Bogor, Cianjur, Karawang atau ke pantai-pantai di Banten barat sana. Belakangan, pilihan itu menciut menjadi hanya Bogor dan Cianjur. Banten terlalu jauh untuk dihabiskan hanya dalam waktu terbatas dan objek-objek menantang di Karawang rata-rata agak susah diakses dengan mobil.
Berikutnya saya menghubungi kawan-kawan lain yang kiranya potensial untuk jadi kawan seperjalanan. Inilah persoalan yang sering membuat orang tak bersemangat. Semua orang yang saya tanya, hampir selalu mengaku suka berjalan-jalan. Tapi ketika sudah waktunya saya mengajak mereka, selalu saja ada alasan untuk tidak bisa ikut. Sibuk dan capek menempati urutan teratas alasan yang sering dipakai. Berikutnya barulah malas atau tidak sesuai konsep mereka tentang sebuah perjalanan wisata. Berwisata, bagi sebagian orang, bukanlah men-capek-kan diri dengan berjalan kaki puluhan kilometer atau berdesakan dengan orang dan binatang dalam angkutan umum yang pengap hanya untuk melihat sebuah tempat yang bahkan masih belum banyak dikunjungi orang. Saya bisa memahami mereka dan menghormati konsep mereka itu. Tidak semua orang setolol saya.
Alhasil, dari sekian puluh ribu orang yang saya tawari, hanya seorang yang dengan polosnya mengiyakan proposal saya. Beliau bahkan hanya bertanya, “Emangnya mau kemana ?”. Saya jawab, “Gampang itu. Yang penting kita berangkat aja dulu”. Itu adalah jawaban yang sangat ambigu dan tolol. Namun tak disangka, beliau menerima jawaban itu tanpa banyak perlawanan. Waktu itu saya pikir, pastilah saya ini orang tolol paling beruntung di dunia.
Sayangnya, demi alasan keamanan negara dan bangsa, beliau tak bersedia disebutkan namanya dalam cerita ini. Karena itu, mari kita sebut saja beliau dengan Dia-Yang-Tak Boleh-Disebut-Namanya, disaingkat DYTBDN, walau sebenarnya beliau lebih suka dengan Sebut-Saja-Dengan-Bunga-17-Tahun. Saya merubahnya, selain karena beliau selalu mengaku berumur kurang dari 17 tahun, sebutan terakhir itu berkonotasi korban kejahatan di koran kriminal. Seandainya dia korban kejahatan, maka bisa-bisa saya yang dituduh pelaku kejahatan. Mana mau saya dikonotasikan seburuk itu. Nanti politik pencitraan saya sebagai calon bupati Gresik di masa mendatang bisa rusak karenanya.
Keputusan untuk memilih Cianjur sebagai tujuan muncul beberapa hari sebelum hari-H. Pertimbangannya akses kendaraan umum menuju sana kabarnya sangat sulit, dibandingkan dengan Bogor yang terkenal sebagai kota seribu angkot. Jadi mumpung ada mobil, lebih baik digunakan untuk tempat yang sulit diakses dengan kendaraan umum, seperti Cianjur. Dari berbagai referensi yang saya baca, Cianjur memiliki banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi, seperti situs gunung padang, curug citambur, kebun raya cibodas, dan pantai di pesisir selatan, seperti pantai Jayanti serta cagar alam bojonglarang yang berdekatan dengannya. Mengingat waktu yang terbatas dan lokasi sebagian tempat yang berjauhan, saya harus mengambil prioritas. Saya menciutkan tujuan menjadi situs gunung padang dan curug citambur. Selain karena kedua tempat itu relatif susah dijangkau angkutan umum, juga keduanya menyimpan pesona yang luar biasa. Nanti akan saya ceritakan bagaimana luar biasanya kedua tempat tersebut.
Dan perjalanan pun dimulai....
MAS RAHMAN DAN KUCING BERNYAWA BANYAK
Kalau saya pikir-pikir, kami, para traveller mirip dengan kucing. Bukan karena kami berkumis atau kelebihan bulu atau suka untuk dibelai-belai wanita, sekalipun mungkin semua itu benar adanya. Konon, legenda mengatakan kucing memiliki banyak nyawa. Kami juga memiliki banyak “nyawa”. Arti penting “nyawa” itu akan makin meningkat seiring dengan mengecilnya budget yang kami miliki. Kehilangan salah sebuah “nyawa” itu mungkin tidak akan secara harfiah membunuh kami. Tapi tanpa “nyawa” itu, perjalanan kami bisa berubah menjadi bencana.
Salah satu diantara “nyawa” kami yang paling krusial adalah “informasi”. Ketika kita merencanakan untuk bepergian ke suatu tempat dengan cara yang paling nyaman dan semurah mungkin, tak bisa tidak, kita harus memiliki informasi mengenai seluk beluknya. Kita mesti tahu apa yang kita tuju, bagaimana mencapainya, apa yang bisa kita lakukan disana dan berapa biayanya. Darinya kita bisa menyusun rencana. Tentunya tak ada jaminan rencana itu akan terlaksana penuh, namanya juga rencana awal, selalu ada ruang untuk improvisasi. Namun tanpa rencana awal, hampir dipastikan kita akan kedodoran. Bahkan, berburu informasi adalah salah satu letak keasyikan kegiatan bepergian murah meriah yang sering dibahasakan dengan backpacking.
Beruntungnya para traveller masa kini, karena sebetulnya informasi awal itu bisa kita cari dengan cukup mudah di dunia maya. Internet juga memungkinkan kita membentuk jaringan komunitas tempat kita bertanya dan berbagi informasi. Dalam hal ini, saya beruntung mengenal mas Rahman Hakim. Apa pasal ?
Semenjak awal sudah saya ceritakan bahwa perjalanan kali ini adalah salah satu jenis perjalanan spontan yang pernah saya lakukan. Persiapan dan perencanaan yang saya lakukan sangat minim. Saya tidak tahu jalan, tidak punya perkiraan jarak tempuh menuju tempat-tempat itu, tak punya bayangan kemana akan menginap, apalagi ditanya soal estimasi biayanya. Saya memang sempat mengulik informasi di dunia maya, namun saya tak bisa menemukan detil informasinya dan tak sempat merangkumnya dalam sebuah rencana. Dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, biasanya saya cukup rinci melakukan riset dan membuat rencana detil. Kali ini lain. Bahkan penunjukan tempat diputuskan sehari sebelum berangkat. Jadi, saya tak terlalu berharap banyak perjalanan kali ini akan mulus-mulus saja. Ibarat kucing tadi, “nyawa” saya sudah berkurang banyak.
Disinilah mas Rahman muncul sebagai dewa penolong. Saya mengenal mas Rahman sebagai salah seorang penggila travelling yang selalu antusias untuk menjelajahi berbagai tempat menarik walau dengan budget yang terbatas. Pertama kali kenal dengannya saat sama-sama menjelajah Sawarna. Dia adalah koordinator rombongan dari sekumpulan backpacker muda, sementara saya yang awalnya dalam kelompok terpisah akhirnya ikut bergabung bersama kelompoknya, terutama agar lebih ramai dan menghemat biaya. Saya mengenang perjalanan waktu itu sebagai perjalanan happy ending, berakhir manis, menyenangkan dan yang terpenting murah meriah. Di akhir perjalanan, saya dan mas Rahman bahkan sempat duduk bersama di atap angkot L300 yang melaju kencang, berteriak kegirangan, merasakan desir angin menderu-deru membuat rambut berkibar-kibar, menghindari jeratan kabel listrik atau dahan-dahan pohon, menunjuk-nunjuk pemandangan indah di kanan kiri serta liak-liuk jalan dari Sawarna menuju Pelabuhan Ratu.
Sekilas melihat saat awal bertemu, saya mengira mas Rahman ini orangnya cuek, pendiam dan garang. Lihat saja penampilannya. Rambut gondrong ikal, wajah tirus, tubuh kurus tinggi, dibalut dengan jins belel dan kaos oblong putih sederhana. Kebetulan kala itu, dia yang saya temui pertama kali sedang duduk terdiam mencangklong, sehingga membuat saya sampai pada kesan itu. Ternyata saya salah sama sekali. Begitu melihat senyumnya, saya langsung menyadari kesalahan prasangka saya. Mas Rahman ini ternyata orang yang sangat baik, perhatian pada kawan, ringan tangan, ramah dan suka menolong. Tambahkan dengan rajin menabung, maka dia pastilah mantan anggota pramuka.
Dalam kesehariannya, mas Rahman tinggal di Sukabumi. Dia tak pernah mengaku dengan jelas apa profesinya. Dia hanya merendah dengan mengatakannya sebagai pengangguran. Saya meragukan pengakuannya itu, mungkin hanya untuk melembutkan kenyataan bahwa dia adalah seorang enterpreneur muda yang memilih untuk hidup di atas kaki sendiri.
Kebaikan hati mas Rahman terlihat dari caranya membalas dendam. Ceritanya, mas Rahman ini minggu sebelumnya juga pergi mengunjungi situs gunung padang. Bersama beberapa kawan, dia mengendarai mobil dari Sukabumi menuju Cianjur. Sayangnya, informasi rute jalan menuju tempat ini tidak banyak dijumpai secara detil di dunia maya. Dengan berbekal informasi sangat minim tersebut, rombongan mas Rahman tersesat hingga 2 kali, membuat waktu tempuh perjalanan molor hingga berjam-jam. Pengalaman itu membuat mas Rahman sangat kesal dan mendendam. Jadi, dia menyalurkan dendamnya dengan segera menuliskan petunjuk rinci rute menuju gunung padang. Dia letakkan tulisannya itu di blog pribadinya, http://journey-to-maturity.blogspot.com/. Harapannya, orang lain tak akan tersesat seperti dirinya. Orang yang baik sekali, bukan ?!
Maka dari itulah saya merasa beruntung kenal dengannya. Saya yang tak sempat banyak melakukan pencarian informasi tentu saja sangat diuntungkan dengan tulisannya. Mas Rahman, menurut saya adalah satu diantara sekian banyak blogger dan traveller yang sangat berjasa dalam membuat perjalanan travelling menjadi semakin mudah. Berkat mereka, nyawa saya sudah lengkap kembali. Saya kembali menjadi kucing bernyawa banyak. Miaauww....
RIBUAN MIL MENUJU MASA LALU
Perjalanan kali ini dimulai dari emperan depan terminal bus DAMRI di kota Bogor. Seperti biasanya, tempat ini selalu ramai dipenuhi orang, karena inilah titik simpul strategis di kota hujan, tempat dimana terminal bus utama, pusat perbelanjaan modern, kampus, mulut jalan akses tol, pusat pariwisata utama (kebun raya), pasar dan pusat pemerintahan diletakkan berdekat-dekatan. Tak heran bila pemandangannya mirip gado-gado, sensasi warna, bau dan bunyi campur aduk berusaha saling mengatasi. Yang paling mencolok mata tentu adalah angkot-angkot yang merajai jalan. Warna hijaunya begitu mendominasi. Tempat ini benar-benar surga bagi penggemar angkot karena jumlahnya luar biasa banyak, saling susul, bertumpuk-tumpuk, sehingga rasanya istilah “menunggu angkot” atau “angkot ngetem lama” terdengar menggelikan.
Sempat juga terlintas dalam pikiran saya, dengan berjubelnya jumlah angkot, seberapa besar penghasilan sopir angkot tiap harinya ? Apa mereka tidak merugi dengan tingkat kompetisi yang begitu ketatnya ? Entahlah, saya tidak tahu. DYTBDN yang saya tanya juga hanya menggeleng malas. Tolong beritahu bila kau tahu jawabannya.
Lalu, apa yang saya lakukan disana menggendong tas punggung yang seperti mau meledak saking penuhnya ? Tak lain karena disinilah kami berjanji untuk bertemu dan memulai perjalanan menuju Cianjur. Awalnya kami mematok waktu pukul 11.00 sebagai waktu keberangkatan. Namun, karena mobil yang kami tunggu terjebak macet, kami baru berangkat tepat pukul 11.47 siang. Sedikit terlambat, tapi tak apalah. Masih ada cukup waktu untuk mencapai gunung padang.
Sesuai petunjuk mas Rahman, jalur yang kami tempuh adalah melewati puncak menuju Cianjur. Ini adalah jalur umum yang sudah jamak diketahui banyak orang. Jalannya yang tidak terlalu lebar itu membelah kawasan puncak yang kondang sebagai daerah tujuan peristirahatan. Hanya satu kekhawatiran kami, terjebak kemacetan. Jalur puncak telah lama dikenal sebagai jalur macet bila sudah menjelang akhir pekan. Beruntung, kekhawatiran kami tak terjadi. Selain sedikit antrian akibat mobil yang masuk ke dalam parit, tak ada lagi halangan berarti. Kami mulus hingga sampai Cianjur.
Perjalanan sebenarnya dimulai ketika kami sampai di perempatan besar Cianjur, lepas dari Puncak. Jalan lurus mengarah ke pusat kota, belok kiri ke arah bandung, sedang arah kanan menuju ke Sukabumi. Kami memilih belok kanan. Sang pengemudi, Pak Min belum pernah melewati jalan tersebut, sehingga murni kami mengandalkan petunjuk dari blog mas Rahman.
Titik penting dari perjalanan ini, menurut mas Rahman adalah warungkondang. Itu adalah nama sebuah kecamatan di Cianjur. Kenapa penting ? Karena meski situs gunung padang berada di wilayah desa Karyamukti, kecamatan Campaka, Cianjur, namun jalur masuknya justru berada di Warung kondang. Jadi kesanalah kami menuju. Dari persimpangan jalan besar cianjur, kira-kira berjarak setengah jam, melewati Cianjur supermall dan menyusuri satu-satunya jalan utama menuju ke arah Sukabumi.
Penanda utama kalau kita hampir sampai dengan tempat tujuan adalah bila kita telah menjumpai sebuah perempatan di warungkondang yang ramai karena terdapat pasar tradisional. Dari plang besar di sebelah kanan jalan, tertulis namanya adalah pasar warung kondang.
Dari pasar warungkondang, Pak Min mengurangi kecepatan kendaraan karena menurut mas Rahman, tak jauh lagi, sekira 1 km, akan ada persimpangan jalan menuju situs. Ada papan penunjuk arah berwarna coklat yang dipasang tinggi dekat persimpangan tersebut, kata mas Rahman. Maka sambil melajukan kendaraan, kami pun melongokkan kepala ke atas, takut terlewatkan papan penunjuk arah. Dan benarlah, tak lama kemudian kami menjumpai papan penunjuk arah tersebut diikuti oleh belokan ke kiri menuju jalan kecil yang tidak terlalu mencolok. Hanya ada pangkalan ojek dari kayu yang di atasnya ada spanduk menegaskan bahwa itulah jalan menuju situs gunung padang.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memutuskan berhenti sebentar untuk sholat di masjid kecil dekat persimpangan tersebut. Penanda waktu di HP saya menunjukkan pukul 13.50. Tak terasa sekitar 2 jam kami berkendara dari Bogor tadi. Usai sholat, kami meneruskan perjalanan kembali.
Sejak dari persimpangan tersebut, dimulailah penyiksaan untuk mobil kami. Kondisi jalan akses yang tak terlalu lebar tersebut lumayan rusak. Disana-sini terdapat lubang, aspal yang hampir habis mengelupas, serta batu-batu kali sebagai penambal jalan. Terang saja mas Rahman juga mengeluhkan kondisi jalan ini.
Jeleknya kondisi jalan otomatis membuat perjalanan sedikit tersendat. Apalagi ukuran jalannya kecil dan berkelok. Mengherankan sekali. Situs gunung padang ini tercantum secara resmi di situs pemda Cianjur. Bahkan kabarnya, objek situs ini sering dipromosikan di even-even kepariwisataan. Tapi dengan kondisi akses jalan seperti itu, orang akan malas untuk berkunjung. Saya penasaran, apakah para pejabat yang membanggakan situs prasejarah ini pernah sekalipun menengoknya ? Kabarnya Wagub Jawa Barat, DedeYusuf pernah datang kesana, dan konon, atas alasan itulah separuh jalan diperbaiki buru-buru. Sangat khas indonesia sekali. Lalu kemudian saya berpikir kembali, mungkin masalahnya sangat klasik, kurangnya dana APBD yang tersedia untuk pengembangan daerah wisata. Kalau memang itu benar, saya tak bisa banyak berkata lagi.
Tapi memang begitulah keadaannya. Setelah melewati jalan rusak sepanjang hampir separuh perjalanan, jalanan mulai membaik. Kondisi aspalnya terhitung mulus. Walau laju kendaraan tak bisa dipacu kencang, karena berkelak-kelok dan dekat perumahan warga, setidaknya mobil kami tak tersiksa lagi.
Saya juga mengamati sepanjang perjalanan semenjak dari belokan tadi ada angkot no 43 berwarna abu-abu yang lalu lalang. Artinya akses ke situs bisa dicapai dengan kendaraan umum, begitu yang saya pikirkan di awal. Namun di bagian-bagian terakhir jalan, saya tidak mendapati lagi angkot tersebut. Mungkin angkot itu hanya sampai pertengahan jalan, tidak sampai ke ujung situs. Berarti mungkin ojek adalah satu-satunya transportasi umum paling praktis menuju situs.
Kira-kira 8 km dari situs, kami melintasi jalur rel dan perlintasan kecil kereta api. Kalau ditelusuri sedikit lagi, jalur itu akan sampai di sebuah stasiun kecil bernama Lampegan. Stasiun tua itu beserta terowongannya adalah salah satu yang tertua di tanah air dan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Stasiun itu merupakan bagian dari rangkaian jalur kereta api Bogor - Sukabumi - Bandung. Keberadaannya bisa ditelusuri hingga ke masa lampau, jauh ketika terowongannya mulai dibangun tahun 1879 hingga 1882. Insinyur-insinyur Belanda yang membangunnya dengan melubangi gunung kancana hingga membentuk terowongan sepanjang 686 m. Tahun 2001, stasiun dan terowongan ini ditutup karena terkena longsor, dan diperbaiki kembali tahun 2006 oleh instansi terkait bersama beberapa tenaga ahli dari Jepang. Belum sempat digunakan, longsor kembali terjadi dan baru diperbaiki kembali tahun 2009. Waktu saya disana, tidak ada kereta yang lewat, jadi saya tak tahu apakah stasiun dan terowongannya sudah difungsikan kembali. Namun sepertinya stasiun tersebut akan lebih difungsikan untuk kepentingan wisata.
Perjalanan kami berlanjut. Kali ini jauh lebih bisa dinikmati. Mulai dari 6 km terakhir, jalanan beraspal sudah mulus, menaik dan berkelok. Pemandangannya sangat memanjakan mata. Rangkaian pegunungan terlihat saling bersebelahan. Gradasi warnanya, dari biru muda hingga kehijauan menampilkan kesan misterius yang justru menenangkan. Hamparan kebun teh dimana-mana, berbaris rapi mengikuti kontur perbukitan. Memandangnya dari kejauhan jadi mengingatkan pada karpet tebal nan empuk. Di beberapa tempat, kawanan pohon teh itu disela oleh pohon-pohon besar yang meranggas. Di suatu belokan, kami bahkan menemukan sebuah pohon berdaun lebat yang sedang dipenuhi bunga. Entah apa namanya. Warna bunganya yang orange menyala begitu kontras dengan latar belakang pegunungan dan rerimbunan hijaunya pepohonan lain, menciptakan perpaduan yang unik dan menarik.
Memasuki 3 km terakhir, ada sebuah percabangan jalan yang ditandai dengan sebuah tugu rusak. Kami tidak tahu jalan mana yang benar, jadi Pak Min berinisiatif mengambil jalan ke kanan. Jalan rusak menyambut kami. Mata saya nyalang mengawasi kesana kemari. Sejauh mata memandang, hanya ada kebun teh dimana-mana. Jarang sekali ada orang atau kendaraan yang terlihat. Susah kami untuk bertanya-tanya. Beruntung ditengah jalan ada seorang bapak yang mengendarai sepeda motor. Saya langsung turun dari mobil dan mencegatnya.
“Pak, jalan ke situs megalitikum gunung padang bener ini ?”, tanya saya. Bapak itu bukannya menjawab malah terdiam sambil menampakkan wajah kebingungan. Saya mengulang pertanyaan, “Situs purbakala dimana ya pak ? itu yang di gunung padang ?”. Barulah wajah si Bapak cerah sambil menggumam, “ohh gunung padang !!”. Sepertinya orang sini tidak mengenal istilah situs purbakala atau megalitikum. Mereka hanya tahunya gunung padang.
Bapak itu, setelah mendengar gunung padang, mulai nyerocos dengan cepatnya menggunakan bahasa sunda. Gantian saya yang kebingungan. Walaupun pernah tinggal lebih dari 4 tahun di bandung, tak membuat kemampuan saya berbahasa sunda menjadi baik. Memalukan sebenarnya tapi begitulah kenyataannya. Paling-paling saya hanya mengerti sedikit bila ada yang bicara. Tapi kalau sudah bicara cepat begitu, mana bisa saya mengerti. Maka komunikasi berikutnya lebih mengandalkan bahasa tubuh. Tangan si bapak itu bergerak aktif menunjuk-nunjuk. Bagi Pak Min dan DYTBDN yang tak mendengar suara kami karena hanya duduk di dalam mobil, mungkin mengira saya dan bapak itu berkomunikasi dengan lancar. Itu lah pengakuan saya pada mereka saat balik ke mobil. “Kata si bapak, jalannya sudah bener ini, tapi agak jauh katanya...”, terang saya pada Pak Min. Maka Pak Min pun meneruskan mobil itu mengikuti petunjuk saya, walaupun saya sendiri sebenarnya sedikit sangsi.
Karena masih ragu-ragu, begitu menemui rumah warga, saya pun menanyakan arah kembali. “Pak ini bener ke arah situs purbakala ? gunung padang ?”.
“Ohh gunung padang ? salah pak, bukan kesini. Itu tadi simpangan belok ke kiri. Balik aja lagi, trus ntar belok ke kanan kalau dari sini..”
Tuuhhh kan benar kesangsian saya. Kami salah jalan. Terpaksalah kami balik kucing kembali. Memang di tugu itu sama sekali tak terlihat penunjuk arah, yang berpotensi membuat orang bisa salah jalan. Belakangan kami baru tahu kalau jalan yang kami tempuh itu mengarah pada curug cikondang, sebuah air terjun di area itu yang menurut pengakuan orang sana cukup bagus pemandangannya. Sayang, waktu kami terbatas untuk menjelajah sampai kesana.
Berbeda dengan jalan sebelumnya, arah jalan yang benar menuju gunung padang kondisi aspalnya jauh lebih mulus. Perkebunan teh masih mendominasi hingga beberapa kilometer kemudian berganti dengan persawahan dan perkampungan warga. Jalan aspal segera berganti jadi jalan berbatu-batu dan tanah hingga kami tiba di sebuah gapura. Saya melirik penanda waktu di dashboard mobil. Pukul 15.45. Kami telah sampai. Inilah dia yang kami cari. Selamat datang di situs megalitikum terbesar se-Asia Tenggara, gunung padang !