Sejenak mataku terpejam,mengingat kembali masa2 indah dulu saat masih bersamanya,begitu banyak kenangan berdua,menjelajahi tempat2 eksotis disekitar sukabumi,tertawa bersama,menangis berdua,menikmati setiap detik memory yang terlewati,begitu indah saat kami merencanakan untuk membangun sebuah rumah kecil untuk kami nanti,memilih mobil yang akan kami miliki,dan hal2 kecil lainnya.Hingga suatu saat aku memutuskan untuk meninggalkannya,entah setan mana yang merasukiku saat itu,padahal seingatku tak ada kesalahannya yang membuat aku harus mengambil keputusan itu,semua baik2 saja.
Sempat aku berfikir lagi,betapa jahatnya aku,egoisnya aku,apa hebatnya aku hingga melakukan itu???seenak sendiri meninggalkan orang yang dengan tulus menyayangiku,siapa aku???hingga sampai hati mencampakan wanita yang ikhlas menerimaku apa adanya,selalu bersabar dengan keadaanku dalam keterbatasan,mencintai dan menyayangiku dengan sederhana,selalu ada pundaknya di saat aku ingin menangis,selalu ada waktu di saat aku ingin mencurahkan isi hati,selalu menemaniku di saat apapun,selalu membantuku dalam keadaan apapun,bahkan saat aku katakan "tidak usah" pun dia selalu berusaha untuk peduli.
Kadang aku merindukannya ada di sini,kembali seperti dulu menemaniku,tapi aku tahu itu tak mungkin,di hatinya kini telah ada yang mengisi,semoga pria itu jauh lebih baik daripada aku,jangan seperti aku,seorang bajingan.
Dari awal aku selalu bilang padanya "aku akan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia",mungkin dengan cara menjauhkannya dariku Tuhan ingin membuatnya bahagia,dan aku harus ikhlas karena itu tujuanku.
Semoga tak ku ulangi kesalahan yang sama.
Selasa, 21 Juni 2011
Jumat, 17 Juni 2011
CIANJUR, PERJALANAN KE MASA LAMPAU (BAGIAN 1)
Ditulis oleh Faris Eko pada 18 Juni 2011 jam 9:02
PANGGILAN BAGI SANG TRAVELLER
Dahulu kala, ratusan tahun yang lampau, ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah, salah satu mata pelajaran yang saya gemari adalah pelajaran sejarah. Alasannya jelas, saya selalu menyukai cerita dengan segala epik kepahlawanan dan misteri yang dibawanya. Selalu menyenangkan melihat kebenaran dan kebaikan akhirnya unggul sebagai pemenang. Itu memberi saya banyak harapan ketika nasib buruk betah merundung saya. Itu pulalah yang membuat saya sangat tidak suka sinetron, makin panjang episodenya, makin panjang pula penderitaan tokoh utamanya. Seakan hidup sang tokoh utama memang telah ditakdirkan untuk terus menderita. Mana boleh begitu ?! Lagipula, apa peduli saya ?! Memikirkan nasib buruk sendiri saja sudah menyesakkan apalagi harus ikut-ikutan memikirkan kemalangan Lulu tobing atau Shirene Sungkar atau artis-artis jelita penguras air mata lainnya. Memangnya mereka siapa ?! Pacar ? Istri ? Belum tentu juga saya mau dengan mereka.
Kembali soal pelajaran sejarah. Rasa suka pada sejarah membuat nilai saya pada pelajaran itu selalu sempurna, paling tinggi semasanya, tak pernah terkalahkan. Para guru menyanjung saya sebagai calon sejarawan muda yang fenomenal. Motto saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya dan orang besar adalah orang yang menyukai sejarah bangsanya.
Oleh sebab itu, begitu mendengar bahwa Indonesia memiliki sebuah situs prasejarah terbesar se-asia tenggara, serta merta tergugahlah rasa ke-sejarah-an saya. Saya adalah orang besar yang menyukai sejarah bangsanya. Tanpa pikir panjang dan mengabaikan segala rintangan, saya ambil tas punggung dan segera berangkat kesana, berjalan kaki, menempuh jalan panjang yang sukar dan melelahkan..
Tidakkah kau terpukau dengan rasa kesejarahan saya yang tinggi ?! Saya sarankan jangan. Apa yang kau baca sebelumnya adalah bualan saya semata. Soal kegemaran pada pelajaran sejarah dan sinetron masih masuk akal. Tapi yang lainnya jelas hanya olok-olok belaka. Tak perlu kau pikirkan.
Namun ada satu hal yang mungkin perlu kau pikirkan, karena barangkali itu memang benar adanya. Tahukah kau bahwa negara kita memang memiliki situs prasejarah yang diduga sebagai yang terbesar di asia tenggara ? Situs ini telah sangat lama dilaporkan keberadaannya dan sudah diakui oleh pemerintah sebagai situs sejarah yang dilindungi. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mempelajari dan memperbincangkannya hingga sekarang ini. Nama situs megalitikum itu adalah Gunung Padang, letaknya diantara pegunungan Cianjur, Jawa Barat.
Iseng-iseng saya coba bertanya pada kawan-kawan yang saya kenal, apakah mereka tahu soal situs Gunung Padang. Hasilnya mengherankan. Sembilan dari sepuluh orang mengaku tak pernah mendengarnya. Orang yang tahu, kalau tidak pemerhati sejarah, orang yang kerjanya berpetualang kesana kemari atau pecandu situs kaskus yang memang dipenuhi oleh informasi-informasi seperti ini. Tak bisa disalahkan sebenarnya. Informasi mengenai tempat ini sangat jarang ditemui di buku-buku resmi, bahkan buku rekomendasi wisata ada yang melewatkannya begitu saja.
Pertama kali saya tahu mengenai Gunung Padang adalah dari sebuah milis penggemar kegiatan backpacking. Semenjak itu, tempat ini masuk dalam daftar panjang tempat-tempat yang harus saya kunjungi. Lama menjelang, barulah kemarin saya sempat mewujudkannya. Kisahnya tak seheroik bualan saya, direncanakan dengan spontan tanpa banyak pertimbangan. Saya bahkan tak berani menyebutnya sebagai perjalanan ala backpacker, meskipun saya menyandang tas punggung dan dana aktual yang saya keluarkan sebetulnya tak besar-besar amat. Tapi peduli setan. Sudah lama saya memutuskan untuk tak memusingkan tetek bengek penyebutan itu. Saya akan pergi kemanapun yang saya inginkan dan dengan cara apapun yang saya pilih. Kalau kata Naruto, karakter anime Jepang yang pernah saya gemari, that’s my way of Ninja. Dalam hal ini, that’s my way of travelling..
Perjalanan ini bermula dari sebuah tawaran seorang kawan yang mobilnya sedang tak digunakan di akhir pekan. Otak saya berputar cepat. Naluri travelling saya langsung menyentil. Saya langsung menyambar kesempatan itu. Saya katakan padanya untuk meminjam kendaraannya tersebut, hanya 2 hari selama akhir pekan, tanggal 11-12 Juni 2011. Kawan saya tak keberatan. Saya berjingkrak senang. Namun masih ada satu ganjalan, saya belum sempat belajar untuk mengendarai mobil. Beruntung Pak Min yang saya kenal dari perjalanan sebelumnya bersedia jadi pengendaranya. Klop sudah, tinggal mencari tempat yang dituju dan menawarkan pada kawan yang mungkin mau bepergian bersama.
Semenjak itu, saya mulai rajin berselancar di dunia maya, mencari lokasi-lokasi yang potensial untuk saya kunjungi. Karena kawan pemilik mobil ini berlokasi di Jawa Barat dan mobil hanya tersedia selama akhir pekan, maka pencarian saya arahkan ke tempat-tempat dalam radius beberapa jam dari Jakarta. Saya juga membuka lagi daftar tempat-tempat incaran saya. Kesimpulan sementara ada beberapa pilihan, menjelajahi Bogor, Cianjur, Karawang atau ke pantai-pantai di Banten barat sana. Belakangan, pilihan itu menciut menjadi hanya Bogor dan Cianjur. Banten terlalu jauh untuk dihabiskan hanya dalam waktu terbatas dan objek-objek menantang di Karawang rata-rata agak susah diakses dengan mobil.
Berikutnya saya menghubungi kawan-kawan lain yang kiranya potensial untuk jadi kawan seperjalanan. Inilah persoalan yang sering membuat orang tak bersemangat. Semua orang yang saya tanya, hampir selalu mengaku suka berjalan-jalan. Tapi ketika sudah waktunya saya mengajak mereka, selalu saja ada alasan untuk tidak bisa ikut. Sibuk dan capek menempati urutan teratas alasan yang sering dipakai. Berikutnya barulah malas atau tidak sesuai konsep mereka tentang sebuah perjalanan wisata. Berwisata, bagi sebagian orang, bukanlah men-capek-kan diri dengan berjalan kaki puluhan kilometer atau berdesakan dengan orang dan binatang dalam angkutan umum yang pengap hanya untuk melihat sebuah tempat yang bahkan masih belum banyak dikunjungi orang. Saya bisa memahami mereka dan menghormati konsep mereka itu. Tidak semua orang setolol saya.
Alhasil, dari sekian puluh ribu orang yang saya tawari, hanya seorang yang dengan polosnya mengiyakan proposal saya. Beliau bahkan hanya bertanya, “Emangnya mau kemana ?”. Saya jawab, “Gampang itu. Yang penting kita berangkat aja dulu”. Itu adalah jawaban yang sangat ambigu dan tolol. Namun tak disangka, beliau menerima jawaban itu tanpa banyak perlawanan. Waktu itu saya pikir, pastilah saya ini orang tolol paling beruntung di dunia.
Sayangnya, demi alasan keamanan negara dan bangsa, beliau tak bersedia disebutkan namanya dalam cerita ini. Karena itu, mari kita sebut saja beliau dengan Dia-Yang-Tak Boleh-Disebut-Namanya, disaingkat DYTBDN, walau sebenarnya beliau lebih suka dengan Sebut-Saja-Dengan-Bunga-17-Tahun. Saya merubahnya, selain karena beliau selalu mengaku berumur kurang dari 17 tahun, sebutan terakhir itu berkonotasi korban kejahatan di koran kriminal. Seandainya dia korban kejahatan, maka bisa-bisa saya yang dituduh pelaku kejahatan. Mana mau saya dikonotasikan seburuk itu. Nanti politik pencitraan saya sebagai calon bupati Gresik di masa mendatang bisa rusak karenanya.
Keputusan untuk memilih Cianjur sebagai tujuan muncul beberapa hari sebelum hari-H. Pertimbangannya akses kendaraan umum menuju sana kabarnya sangat sulit, dibandingkan dengan Bogor yang terkenal sebagai kota seribu angkot. Jadi mumpung ada mobil, lebih baik digunakan untuk tempat yang sulit diakses dengan kendaraan umum, seperti Cianjur. Dari berbagai referensi yang saya baca, Cianjur memiliki banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi, seperti situs gunung padang, curug citambur, kebun raya cibodas, dan pantai di pesisir selatan, seperti pantai Jayanti serta cagar alam bojonglarang yang berdekatan dengannya. Mengingat waktu yang terbatas dan lokasi sebagian tempat yang berjauhan, saya harus mengambil prioritas. Saya menciutkan tujuan menjadi situs gunung padang dan curug citambur. Selain karena kedua tempat itu relatif susah dijangkau angkutan umum, juga keduanya menyimpan pesona yang luar biasa. Nanti akan saya ceritakan bagaimana luar biasanya kedua tempat tersebut.
Dan perjalanan pun dimulai....
MAS RAHMAN DAN KUCING BERNYAWA BANYAK
Kalau saya pikir-pikir, kami, para traveller mirip dengan kucing. Bukan karena kami berkumis atau kelebihan bulu atau suka untuk dibelai-belai wanita, sekalipun mungkin semua itu benar adanya. Konon, legenda mengatakan kucing memiliki banyak nyawa. Kami juga memiliki banyak “nyawa”. Arti penting “nyawa” itu akan makin meningkat seiring dengan mengecilnya budget yang kami miliki. Kehilangan salah sebuah “nyawa” itu mungkin tidak akan secara harfiah membunuh kami. Tapi tanpa “nyawa” itu, perjalanan kami bisa berubah menjadi bencana.
Salah satu diantara “nyawa” kami yang paling krusial adalah “informasi”. Ketika kita merencanakan untuk bepergian ke suatu tempat dengan cara yang paling nyaman dan semurah mungkin, tak bisa tidak, kita harus memiliki informasi mengenai seluk beluknya. Kita mesti tahu apa yang kita tuju, bagaimana mencapainya, apa yang bisa kita lakukan disana dan berapa biayanya. Darinya kita bisa menyusun rencana. Tentunya tak ada jaminan rencana itu akan terlaksana penuh, namanya juga rencana awal, selalu ada ruang untuk improvisasi. Namun tanpa rencana awal, hampir dipastikan kita akan kedodoran. Bahkan, berburu informasi adalah salah satu letak keasyikan kegiatan bepergian murah meriah yang sering dibahasakan dengan backpacking.
Beruntungnya para traveller masa kini, karena sebetulnya informasi awal itu bisa kita cari dengan cukup mudah di dunia maya. Internet juga memungkinkan kita membentuk jaringan komunitas tempat kita bertanya dan berbagi informasi. Dalam hal ini, saya beruntung mengenal mas Rahman Hakim. Apa pasal ?
Semenjak awal sudah saya ceritakan bahwa perjalanan kali ini adalah salah satu jenis perjalanan spontan yang pernah saya lakukan. Persiapan dan perencanaan yang saya lakukan sangat minim. Saya tidak tahu jalan, tidak punya perkiraan jarak tempuh menuju tempat-tempat itu, tak punya bayangan kemana akan menginap, apalagi ditanya soal estimasi biayanya. Saya memang sempat mengulik informasi di dunia maya, namun saya tak bisa menemukan detil informasinya dan tak sempat merangkumnya dalam sebuah rencana. Dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, biasanya saya cukup rinci melakukan riset dan membuat rencana detil. Kali ini lain. Bahkan penunjukan tempat diputuskan sehari sebelum berangkat. Jadi, saya tak terlalu berharap banyak perjalanan kali ini akan mulus-mulus saja. Ibarat kucing tadi, “nyawa” saya sudah berkurang banyak.
Disinilah mas Rahman muncul sebagai dewa penolong. Saya mengenal mas Rahman sebagai salah seorang penggila travelling yang selalu antusias untuk menjelajahi berbagai tempat menarik walau dengan budget yang terbatas. Pertama kali kenal dengannya saat sama-sama menjelajah Sawarna. Dia adalah koordinator rombongan dari sekumpulan backpacker muda, sementara saya yang awalnya dalam kelompok terpisah akhirnya ikut bergabung bersama kelompoknya, terutama agar lebih ramai dan menghemat biaya. Saya mengenang perjalanan waktu itu sebagai perjalanan happy ending, berakhir manis, menyenangkan dan yang terpenting murah meriah. Di akhir perjalanan, saya dan mas Rahman bahkan sempat duduk bersama di atap angkot L300 yang melaju kencang, berteriak kegirangan, merasakan desir angin menderu-deru membuat rambut berkibar-kibar, menghindari jeratan kabel listrik atau dahan-dahan pohon, menunjuk-nunjuk pemandangan indah di kanan kiri serta liak-liuk jalan dari Sawarna menuju Pelabuhan Ratu.
Sekilas melihat saat awal bertemu, saya mengira mas Rahman ini orangnya cuek, pendiam dan garang. Lihat saja penampilannya. Rambut gondrong ikal, wajah tirus, tubuh kurus tinggi, dibalut dengan jins belel dan kaos oblong putih sederhana. Kebetulan kala itu, dia yang saya temui pertama kali sedang duduk terdiam mencangklong, sehingga membuat saya sampai pada kesan itu. Ternyata saya salah sama sekali. Begitu melihat senyumnya, saya langsung menyadari kesalahan prasangka saya. Mas Rahman ini ternyata orang yang sangat baik, perhatian pada kawan, ringan tangan, ramah dan suka menolong. Tambahkan dengan rajin menabung, maka dia pastilah mantan anggota pramuka.
Dalam kesehariannya, mas Rahman tinggal di Sukabumi. Dia tak pernah mengaku dengan jelas apa profesinya. Dia hanya merendah dengan mengatakannya sebagai pengangguran. Saya meragukan pengakuannya itu, mungkin hanya untuk melembutkan kenyataan bahwa dia adalah seorang enterpreneur muda yang memilih untuk hidup di atas kaki sendiri.
Kebaikan hati mas Rahman terlihat dari caranya membalas dendam. Ceritanya, mas Rahman ini minggu sebelumnya juga pergi mengunjungi situs gunung padang. Bersama beberapa kawan, dia mengendarai mobil dari Sukabumi menuju Cianjur. Sayangnya, informasi rute jalan menuju tempat ini tidak banyak dijumpai secara detil di dunia maya. Dengan berbekal informasi sangat minim tersebut, rombongan mas Rahman tersesat hingga 2 kali, membuat waktu tempuh perjalanan molor hingga berjam-jam. Pengalaman itu membuat mas Rahman sangat kesal dan mendendam. Jadi, dia menyalurkan dendamnya dengan segera menuliskan petunjuk rinci rute menuju gunung padang. Dia letakkan tulisannya itu di blog pribadinya, http://journey-to-maturity.blogspot.com/. Harapannya, orang lain tak akan tersesat seperti dirinya. Orang yang baik sekali, bukan ?!
Maka dari itulah saya merasa beruntung kenal dengannya. Saya yang tak sempat banyak melakukan pencarian informasi tentu saja sangat diuntungkan dengan tulisannya. Mas Rahman, menurut saya adalah satu diantara sekian banyak blogger dan traveller yang sangat berjasa dalam membuat perjalanan travelling menjadi semakin mudah. Berkat mereka, nyawa saya sudah lengkap kembali. Saya kembali menjadi kucing bernyawa banyak. Miaauww....
RIBUAN MIL MENUJU MASA LALU
Perjalanan kali ini dimulai dari emperan depan terminal bus DAMRI di kota Bogor. Seperti biasanya, tempat ini selalu ramai dipenuhi orang, karena inilah titik simpul strategis di kota hujan, tempat dimana terminal bus utama, pusat perbelanjaan modern, kampus, mulut jalan akses tol, pusat pariwisata utama (kebun raya), pasar dan pusat pemerintahan diletakkan berdekat-dekatan. Tak heran bila pemandangannya mirip gado-gado, sensasi warna, bau dan bunyi campur aduk berusaha saling mengatasi. Yang paling mencolok mata tentu adalah angkot-angkot yang merajai jalan. Warna hijaunya begitu mendominasi. Tempat ini benar-benar surga bagi penggemar angkot karena jumlahnya luar biasa banyak, saling susul, bertumpuk-tumpuk, sehingga rasanya istilah “menunggu angkot” atau “angkot ngetem lama” terdengar menggelikan.
Sempat juga terlintas dalam pikiran saya, dengan berjubelnya jumlah angkot, seberapa besar penghasilan sopir angkot tiap harinya ? Apa mereka tidak merugi dengan tingkat kompetisi yang begitu ketatnya ? Entahlah, saya tidak tahu. DYTBDN yang saya tanya juga hanya menggeleng malas. Tolong beritahu bila kau tahu jawabannya.
Lalu, apa yang saya lakukan disana menggendong tas punggung yang seperti mau meledak saking penuhnya ? Tak lain karena disinilah kami berjanji untuk bertemu dan memulai perjalanan menuju Cianjur. Awalnya kami mematok waktu pukul 11.00 sebagai waktu keberangkatan. Namun, karena mobil yang kami tunggu terjebak macet, kami baru berangkat tepat pukul 11.47 siang. Sedikit terlambat, tapi tak apalah. Masih ada cukup waktu untuk mencapai gunung padang.
Sesuai petunjuk mas Rahman, jalur yang kami tempuh adalah melewati puncak menuju Cianjur. Ini adalah jalur umum yang sudah jamak diketahui banyak orang. Jalannya yang tidak terlalu lebar itu membelah kawasan puncak yang kondang sebagai daerah tujuan peristirahatan. Hanya satu kekhawatiran kami, terjebak kemacetan. Jalur puncak telah lama dikenal sebagai jalur macet bila sudah menjelang akhir pekan. Beruntung, kekhawatiran kami tak terjadi. Selain sedikit antrian akibat mobil yang masuk ke dalam parit, tak ada lagi halangan berarti. Kami mulus hingga sampai Cianjur.
Perjalanan sebenarnya dimulai ketika kami sampai di perempatan besar Cianjur, lepas dari Puncak. Jalan lurus mengarah ke pusat kota, belok kiri ke arah bandung, sedang arah kanan menuju ke Sukabumi. Kami memilih belok kanan. Sang pengemudi, Pak Min belum pernah melewati jalan tersebut, sehingga murni kami mengandalkan petunjuk dari blog mas Rahman.
Titik penting dari perjalanan ini, menurut mas Rahman adalah warungkondang. Itu adalah nama sebuah kecamatan di Cianjur. Kenapa penting ? Karena meski situs gunung padang berada di wilayah desa Karyamukti, kecamatan Campaka, Cianjur, namun jalur masuknya justru berada di Warung kondang. Jadi kesanalah kami menuju. Dari persimpangan jalan besar cianjur, kira-kira berjarak setengah jam, melewati Cianjur supermall dan menyusuri satu-satunya jalan utama menuju ke arah Sukabumi.
Penanda utama kalau kita hampir sampai dengan tempat tujuan adalah bila kita telah menjumpai sebuah perempatan di warungkondang yang ramai karena terdapat pasar tradisional. Dari plang besar di sebelah kanan jalan, tertulis namanya adalah pasar warung kondang.
Dari pasar warungkondang, Pak Min mengurangi kecepatan kendaraan karena menurut mas Rahman, tak jauh lagi, sekira 1 km, akan ada persimpangan jalan menuju situs. Ada papan penunjuk arah berwarna coklat yang dipasang tinggi dekat persimpangan tersebut, kata mas Rahman. Maka sambil melajukan kendaraan, kami pun melongokkan kepala ke atas, takut terlewatkan papan penunjuk arah. Dan benarlah, tak lama kemudian kami menjumpai papan penunjuk arah tersebut diikuti oleh belokan ke kiri menuju jalan kecil yang tidak terlalu mencolok. Hanya ada pangkalan ojek dari kayu yang di atasnya ada spanduk menegaskan bahwa itulah jalan menuju situs gunung padang.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memutuskan berhenti sebentar untuk sholat di masjid kecil dekat persimpangan tersebut. Penanda waktu di HP saya menunjukkan pukul 13.50. Tak terasa sekitar 2 jam kami berkendara dari Bogor tadi. Usai sholat, kami meneruskan perjalanan kembali.
Sejak dari persimpangan tersebut, dimulailah penyiksaan untuk mobil kami. Kondisi jalan akses yang tak terlalu lebar tersebut lumayan rusak. Disana-sini terdapat lubang, aspal yang hampir habis mengelupas, serta batu-batu kali sebagai penambal jalan. Terang saja mas Rahman juga mengeluhkan kondisi jalan ini.
Jeleknya kondisi jalan otomatis membuat perjalanan sedikit tersendat. Apalagi ukuran jalannya kecil dan berkelok. Mengherankan sekali. Situs gunung padang ini tercantum secara resmi di situs pemda Cianjur. Bahkan kabarnya, objek situs ini sering dipromosikan di even-even kepariwisataan. Tapi dengan kondisi akses jalan seperti itu, orang akan malas untuk berkunjung. Saya penasaran, apakah para pejabat yang membanggakan situs prasejarah ini pernah sekalipun menengoknya ? Kabarnya Wagub Jawa Barat, DedeYusuf pernah datang kesana, dan konon, atas alasan itulah separuh jalan diperbaiki buru-buru. Sangat khas indonesia sekali. Lalu kemudian saya berpikir kembali, mungkin masalahnya sangat klasik, kurangnya dana APBD yang tersedia untuk pengembangan daerah wisata. Kalau memang itu benar, saya tak bisa banyak berkata lagi.
Tapi memang begitulah keadaannya. Setelah melewati jalan rusak sepanjang hampir separuh perjalanan, jalanan mulai membaik. Kondisi aspalnya terhitung mulus. Walau laju kendaraan tak bisa dipacu kencang, karena berkelak-kelok dan dekat perumahan warga, setidaknya mobil kami tak tersiksa lagi.
Saya juga mengamati sepanjang perjalanan semenjak dari belokan tadi ada angkot no 43 berwarna abu-abu yang lalu lalang. Artinya akses ke situs bisa dicapai dengan kendaraan umum, begitu yang saya pikirkan di awal. Namun di bagian-bagian terakhir jalan, saya tidak mendapati lagi angkot tersebut. Mungkin angkot itu hanya sampai pertengahan jalan, tidak sampai ke ujung situs. Berarti mungkin ojek adalah satu-satunya transportasi umum paling praktis menuju situs.
Kira-kira 8 km dari situs, kami melintasi jalur rel dan perlintasan kecil kereta api. Kalau ditelusuri sedikit lagi, jalur itu akan sampai di sebuah stasiun kecil bernama Lampegan. Stasiun tua itu beserta terowongannya adalah salah satu yang tertua di tanah air dan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Stasiun itu merupakan bagian dari rangkaian jalur kereta api Bogor - Sukabumi - Bandung. Keberadaannya bisa ditelusuri hingga ke masa lampau, jauh ketika terowongannya mulai dibangun tahun 1879 hingga 1882. Insinyur-insinyur Belanda yang membangunnya dengan melubangi gunung kancana hingga membentuk terowongan sepanjang 686 m. Tahun 2001, stasiun dan terowongan ini ditutup karena terkena longsor, dan diperbaiki kembali tahun 2006 oleh instansi terkait bersama beberapa tenaga ahli dari Jepang. Belum sempat digunakan, longsor kembali terjadi dan baru diperbaiki kembali tahun 2009. Waktu saya disana, tidak ada kereta yang lewat, jadi saya tak tahu apakah stasiun dan terowongannya sudah difungsikan kembali. Namun sepertinya stasiun tersebut akan lebih difungsikan untuk kepentingan wisata.
Perjalanan kami berlanjut. Kali ini jauh lebih bisa dinikmati. Mulai dari 6 km terakhir, jalanan beraspal sudah mulus, menaik dan berkelok. Pemandangannya sangat memanjakan mata. Rangkaian pegunungan terlihat saling bersebelahan. Gradasi warnanya, dari biru muda hingga kehijauan menampilkan kesan misterius yang justru menenangkan. Hamparan kebun teh dimana-mana, berbaris rapi mengikuti kontur perbukitan. Memandangnya dari kejauhan jadi mengingatkan pada karpet tebal nan empuk. Di beberapa tempat, kawanan pohon teh itu disela oleh pohon-pohon besar yang meranggas. Di suatu belokan, kami bahkan menemukan sebuah pohon berdaun lebat yang sedang dipenuhi bunga. Entah apa namanya. Warna bunganya yang orange menyala begitu kontras dengan latar belakang pegunungan dan rerimbunan hijaunya pepohonan lain, menciptakan perpaduan yang unik dan menarik.
Memasuki 3 km terakhir, ada sebuah percabangan jalan yang ditandai dengan sebuah tugu rusak. Kami tidak tahu jalan mana yang benar, jadi Pak Min berinisiatif mengambil jalan ke kanan. Jalan rusak menyambut kami. Mata saya nyalang mengawasi kesana kemari. Sejauh mata memandang, hanya ada kebun teh dimana-mana. Jarang sekali ada orang atau kendaraan yang terlihat. Susah kami untuk bertanya-tanya. Beruntung ditengah jalan ada seorang bapak yang mengendarai sepeda motor. Saya langsung turun dari mobil dan mencegatnya.
“Pak, jalan ke situs megalitikum gunung padang bener ini ?”, tanya saya. Bapak itu bukannya menjawab malah terdiam sambil menampakkan wajah kebingungan. Saya mengulang pertanyaan, “Situs purbakala dimana ya pak ? itu yang di gunung padang ?”. Barulah wajah si Bapak cerah sambil menggumam, “ohh gunung padang !!”. Sepertinya orang sini tidak mengenal istilah situs purbakala atau megalitikum. Mereka hanya tahunya gunung padang.
Bapak itu, setelah mendengar gunung padang, mulai nyerocos dengan cepatnya menggunakan bahasa sunda. Gantian saya yang kebingungan. Walaupun pernah tinggal lebih dari 4 tahun di bandung, tak membuat kemampuan saya berbahasa sunda menjadi baik. Memalukan sebenarnya tapi begitulah kenyataannya. Paling-paling saya hanya mengerti sedikit bila ada yang bicara. Tapi kalau sudah bicara cepat begitu, mana bisa saya mengerti. Maka komunikasi berikutnya lebih mengandalkan bahasa tubuh. Tangan si bapak itu bergerak aktif menunjuk-nunjuk. Bagi Pak Min dan DYTBDN yang tak mendengar suara kami karena hanya duduk di dalam mobil, mungkin mengira saya dan bapak itu berkomunikasi dengan lancar. Itu lah pengakuan saya pada mereka saat balik ke mobil. “Kata si bapak, jalannya sudah bener ini, tapi agak jauh katanya...”, terang saya pada Pak Min. Maka Pak Min pun meneruskan mobil itu mengikuti petunjuk saya, walaupun saya sendiri sebenarnya sedikit sangsi.
Karena masih ragu-ragu, begitu menemui rumah warga, saya pun menanyakan arah kembali. “Pak ini bener ke arah situs purbakala ? gunung padang ?”.
“Ohh gunung padang ? salah pak, bukan kesini. Itu tadi simpangan belok ke kiri. Balik aja lagi, trus ntar belok ke kanan kalau dari sini..”
Tuuhhh kan benar kesangsian saya. Kami salah jalan. Terpaksalah kami balik kucing kembali. Memang di tugu itu sama sekali tak terlihat penunjuk arah, yang berpotensi membuat orang bisa salah jalan. Belakangan kami baru tahu kalau jalan yang kami tempuh itu mengarah pada curug cikondang, sebuah air terjun di area itu yang menurut pengakuan orang sana cukup bagus pemandangannya. Sayang, waktu kami terbatas untuk menjelajah sampai kesana.
Berbeda dengan jalan sebelumnya, arah jalan yang benar menuju gunung padang kondisi aspalnya jauh lebih mulus. Perkebunan teh masih mendominasi hingga beberapa kilometer kemudian berganti dengan persawahan dan perkampungan warga. Jalan aspal segera berganti jadi jalan berbatu-batu dan tanah hingga kami tiba di sebuah gapura. Saya melirik penanda waktu di dashboard mobil. Pukul 15.45. Kami telah sampai. Inilah dia yang kami cari. Selamat datang di situs megalitikum terbesar se-Asia Tenggara, gunung padang !
PANGGILAN BAGI SANG TRAVELLER
Dahulu kala, ratusan tahun yang lampau, ketika saya masih duduk di bangku sekolah menengah, salah satu mata pelajaran yang saya gemari adalah pelajaran sejarah. Alasannya jelas, saya selalu menyukai cerita dengan segala epik kepahlawanan dan misteri yang dibawanya. Selalu menyenangkan melihat kebenaran dan kebaikan akhirnya unggul sebagai pemenang. Itu memberi saya banyak harapan ketika nasib buruk betah merundung saya. Itu pulalah yang membuat saya sangat tidak suka sinetron, makin panjang episodenya, makin panjang pula penderitaan tokoh utamanya. Seakan hidup sang tokoh utama memang telah ditakdirkan untuk terus menderita. Mana boleh begitu ?! Lagipula, apa peduli saya ?! Memikirkan nasib buruk sendiri saja sudah menyesakkan apalagi harus ikut-ikutan memikirkan kemalangan Lulu tobing atau Shirene Sungkar atau artis-artis jelita penguras air mata lainnya. Memangnya mereka siapa ?! Pacar ? Istri ? Belum tentu juga saya mau dengan mereka.
Kembali soal pelajaran sejarah. Rasa suka pada sejarah membuat nilai saya pada pelajaran itu selalu sempurna, paling tinggi semasanya, tak pernah terkalahkan. Para guru menyanjung saya sebagai calon sejarawan muda yang fenomenal. Motto saya, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai pahlawannya dan orang besar adalah orang yang menyukai sejarah bangsanya.
Oleh sebab itu, begitu mendengar bahwa Indonesia memiliki sebuah situs prasejarah terbesar se-asia tenggara, serta merta tergugahlah rasa ke-sejarah-an saya. Saya adalah orang besar yang menyukai sejarah bangsanya. Tanpa pikir panjang dan mengabaikan segala rintangan, saya ambil tas punggung dan segera berangkat kesana, berjalan kaki, menempuh jalan panjang yang sukar dan melelahkan..
Tidakkah kau terpukau dengan rasa kesejarahan saya yang tinggi ?! Saya sarankan jangan. Apa yang kau baca sebelumnya adalah bualan saya semata. Soal kegemaran pada pelajaran sejarah dan sinetron masih masuk akal. Tapi yang lainnya jelas hanya olok-olok belaka. Tak perlu kau pikirkan.
Namun ada satu hal yang mungkin perlu kau pikirkan, karena barangkali itu memang benar adanya. Tahukah kau bahwa negara kita memang memiliki situs prasejarah yang diduga sebagai yang terbesar di asia tenggara ? Situs ini telah sangat lama dilaporkan keberadaannya dan sudah diakui oleh pemerintah sebagai situs sejarah yang dilindungi. Para ahli dari berbagai disiplin ilmu mempelajari dan memperbincangkannya hingga sekarang ini. Nama situs megalitikum itu adalah Gunung Padang, letaknya diantara pegunungan Cianjur, Jawa Barat.
Iseng-iseng saya coba bertanya pada kawan-kawan yang saya kenal, apakah mereka tahu soal situs Gunung Padang. Hasilnya mengherankan. Sembilan dari sepuluh orang mengaku tak pernah mendengarnya. Orang yang tahu, kalau tidak pemerhati sejarah, orang yang kerjanya berpetualang kesana kemari atau pecandu situs kaskus yang memang dipenuhi oleh informasi-informasi seperti ini. Tak bisa disalahkan sebenarnya. Informasi mengenai tempat ini sangat jarang ditemui di buku-buku resmi, bahkan buku rekomendasi wisata ada yang melewatkannya begitu saja.
Pertama kali saya tahu mengenai Gunung Padang adalah dari sebuah milis penggemar kegiatan backpacking. Semenjak itu, tempat ini masuk dalam daftar panjang tempat-tempat yang harus saya kunjungi. Lama menjelang, barulah kemarin saya sempat mewujudkannya. Kisahnya tak seheroik bualan saya, direncanakan dengan spontan tanpa banyak pertimbangan. Saya bahkan tak berani menyebutnya sebagai perjalanan ala backpacker, meskipun saya menyandang tas punggung dan dana aktual yang saya keluarkan sebetulnya tak besar-besar amat. Tapi peduli setan. Sudah lama saya memutuskan untuk tak memusingkan tetek bengek penyebutan itu. Saya akan pergi kemanapun yang saya inginkan dan dengan cara apapun yang saya pilih. Kalau kata Naruto, karakter anime Jepang yang pernah saya gemari, that’s my way of Ninja. Dalam hal ini, that’s my way of travelling..
Perjalanan ini bermula dari sebuah tawaran seorang kawan yang mobilnya sedang tak digunakan di akhir pekan. Otak saya berputar cepat. Naluri travelling saya langsung menyentil. Saya langsung menyambar kesempatan itu. Saya katakan padanya untuk meminjam kendaraannya tersebut, hanya 2 hari selama akhir pekan, tanggal 11-12 Juni 2011. Kawan saya tak keberatan. Saya berjingkrak senang. Namun masih ada satu ganjalan, saya belum sempat belajar untuk mengendarai mobil. Beruntung Pak Min yang saya kenal dari perjalanan sebelumnya bersedia jadi pengendaranya. Klop sudah, tinggal mencari tempat yang dituju dan menawarkan pada kawan yang mungkin mau bepergian bersama.
Semenjak itu, saya mulai rajin berselancar di dunia maya, mencari lokasi-lokasi yang potensial untuk saya kunjungi. Karena kawan pemilik mobil ini berlokasi di Jawa Barat dan mobil hanya tersedia selama akhir pekan, maka pencarian saya arahkan ke tempat-tempat dalam radius beberapa jam dari Jakarta. Saya juga membuka lagi daftar tempat-tempat incaran saya. Kesimpulan sementara ada beberapa pilihan, menjelajahi Bogor, Cianjur, Karawang atau ke pantai-pantai di Banten barat sana. Belakangan, pilihan itu menciut menjadi hanya Bogor dan Cianjur. Banten terlalu jauh untuk dihabiskan hanya dalam waktu terbatas dan objek-objek menantang di Karawang rata-rata agak susah diakses dengan mobil.
Berikutnya saya menghubungi kawan-kawan lain yang kiranya potensial untuk jadi kawan seperjalanan. Inilah persoalan yang sering membuat orang tak bersemangat. Semua orang yang saya tanya, hampir selalu mengaku suka berjalan-jalan. Tapi ketika sudah waktunya saya mengajak mereka, selalu saja ada alasan untuk tidak bisa ikut. Sibuk dan capek menempati urutan teratas alasan yang sering dipakai. Berikutnya barulah malas atau tidak sesuai konsep mereka tentang sebuah perjalanan wisata. Berwisata, bagi sebagian orang, bukanlah men-capek-kan diri dengan berjalan kaki puluhan kilometer atau berdesakan dengan orang dan binatang dalam angkutan umum yang pengap hanya untuk melihat sebuah tempat yang bahkan masih belum banyak dikunjungi orang. Saya bisa memahami mereka dan menghormati konsep mereka itu. Tidak semua orang setolol saya.
Alhasil, dari sekian puluh ribu orang yang saya tawari, hanya seorang yang dengan polosnya mengiyakan proposal saya. Beliau bahkan hanya bertanya, “Emangnya mau kemana ?”. Saya jawab, “Gampang itu. Yang penting kita berangkat aja dulu”. Itu adalah jawaban yang sangat ambigu dan tolol. Namun tak disangka, beliau menerima jawaban itu tanpa banyak perlawanan. Waktu itu saya pikir, pastilah saya ini orang tolol paling beruntung di dunia.
Sayangnya, demi alasan keamanan negara dan bangsa, beliau tak bersedia disebutkan namanya dalam cerita ini. Karena itu, mari kita sebut saja beliau dengan Dia-Yang-Tak Boleh-Disebut-Namanya, disaingkat DYTBDN, walau sebenarnya beliau lebih suka dengan Sebut-Saja-Dengan-Bunga-17-Tahun. Saya merubahnya, selain karena beliau selalu mengaku berumur kurang dari 17 tahun, sebutan terakhir itu berkonotasi korban kejahatan di koran kriminal. Seandainya dia korban kejahatan, maka bisa-bisa saya yang dituduh pelaku kejahatan. Mana mau saya dikonotasikan seburuk itu. Nanti politik pencitraan saya sebagai calon bupati Gresik di masa mendatang bisa rusak karenanya.
Keputusan untuk memilih Cianjur sebagai tujuan muncul beberapa hari sebelum hari-H. Pertimbangannya akses kendaraan umum menuju sana kabarnya sangat sulit, dibandingkan dengan Bogor yang terkenal sebagai kota seribu angkot. Jadi mumpung ada mobil, lebih baik digunakan untuk tempat yang sulit diakses dengan kendaraan umum, seperti Cianjur. Dari berbagai referensi yang saya baca, Cianjur memiliki banyak tempat yang menarik untuk dikunjungi, seperti situs gunung padang, curug citambur, kebun raya cibodas, dan pantai di pesisir selatan, seperti pantai Jayanti serta cagar alam bojonglarang yang berdekatan dengannya. Mengingat waktu yang terbatas dan lokasi sebagian tempat yang berjauhan, saya harus mengambil prioritas. Saya menciutkan tujuan menjadi situs gunung padang dan curug citambur. Selain karena kedua tempat itu relatif susah dijangkau angkutan umum, juga keduanya menyimpan pesona yang luar biasa. Nanti akan saya ceritakan bagaimana luar biasanya kedua tempat tersebut.
Dan perjalanan pun dimulai....
MAS RAHMAN DAN KUCING BERNYAWA BANYAK
Kalau saya pikir-pikir, kami, para traveller mirip dengan kucing. Bukan karena kami berkumis atau kelebihan bulu atau suka untuk dibelai-belai wanita, sekalipun mungkin semua itu benar adanya. Konon, legenda mengatakan kucing memiliki banyak nyawa. Kami juga memiliki banyak “nyawa”. Arti penting “nyawa” itu akan makin meningkat seiring dengan mengecilnya budget yang kami miliki. Kehilangan salah sebuah “nyawa” itu mungkin tidak akan secara harfiah membunuh kami. Tapi tanpa “nyawa” itu, perjalanan kami bisa berubah menjadi bencana.
Salah satu diantara “nyawa” kami yang paling krusial adalah “informasi”. Ketika kita merencanakan untuk bepergian ke suatu tempat dengan cara yang paling nyaman dan semurah mungkin, tak bisa tidak, kita harus memiliki informasi mengenai seluk beluknya. Kita mesti tahu apa yang kita tuju, bagaimana mencapainya, apa yang bisa kita lakukan disana dan berapa biayanya. Darinya kita bisa menyusun rencana. Tentunya tak ada jaminan rencana itu akan terlaksana penuh, namanya juga rencana awal, selalu ada ruang untuk improvisasi. Namun tanpa rencana awal, hampir dipastikan kita akan kedodoran. Bahkan, berburu informasi adalah salah satu letak keasyikan kegiatan bepergian murah meriah yang sering dibahasakan dengan backpacking.
Beruntungnya para traveller masa kini, karena sebetulnya informasi awal itu bisa kita cari dengan cukup mudah di dunia maya. Internet juga memungkinkan kita membentuk jaringan komunitas tempat kita bertanya dan berbagi informasi. Dalam hal ini, saya beruntung mengenal mas Rahman Hakim. Apa pasal ?
Semenjak awal sudah saya ceritakan bahwa perjalanan kali ini adalah salah satu jenis perjalanan spontan yang pernah saya lakukan. Persiapan dan perencanaan yang saya lakukan sangat minim. Saya tidak tahu jalan, tidak punya perkiraan jarak tempuh menuju tempat-tempat itu, tak punya bayangan kemana akan menginap, apalagi ditanya soal estimasi biayanya. Saya memang sempat mengulik informasi di dunia maya, namun saya tak bisa menemukan detil informasinya dan tak sempat merangkumnya dalam sebuah rencana. Dalam perjalanan-perjalanan sebelumnya, biasanya saya cukup rinci melakukan riset dan membuat rencana detil. Kali ini lain. Bahkan penunjukan tempat diputuskan sehari sebelum berangkat. Jadi, saya tak terlalu berharap banyak perjalanan kali ini akan mulus-mulus saja. Ibarat kucing tadi, “nyawa” saya sudah berkurang banyak.
Disinilah mas Rahman muncul sebagai dewa penolong. Saya mengenal mas Rahman sebagai salah seorang penggila travelling yang selalu antusias untuk menjelajahi berbagai tempat menarik walau dengan budget yang terbatas. Pertama kali kenal dengannya saat sama-sama menjelajah Sawarna. Dia adalah koordinator rombongan dari sekumpulan backpacker muda, sementara saya yang awalnya dalam kelompok terpisah akhirnya ikut bergabung bersama kelompoknya, terutama agar lebih ramai dan menghemat biaya. Saya mengenang perjalanan waktu itu sebagai perjalanan happy ending, berakhir manis, menyenangkan dan yang terpenting murah meriah. Di akhir perjalanan, saya dan mas Rahman bahkan sempat duduk bersama di atap angkot L300 yang melaju kencang, berteriak kegirangan, merasakan desir angin menderu-deru membuat rambut berkibar-kibar, menghindari jeratan kabel listrik atau dahan-dahan pohon, menunjuk-nunjuk pemandangan indah di kanan kiri serta liak-liuk jalan dari Sawarna menuju Pelabuhan Ratu.
Sekilas melihat saat awal bertemu, saya mengira mas Rahman ini orangnya cuek, pendiam dan garang. Lihat saja penampilannya. Rambut gondrong ikal, wajah tirus, tubuh kurus tinggi, dibalut dengan jins belel dan kaos oblong putih sederhana. Kebetulan kala itu, dia yang saya temui pertama kali sedang duduk terdiam mencangklong, sehingga membuat saya sampai pada kesan itu. Ternyata saya salah sama sekali. Begitu melihat senyumnya, saya langsung menyadari kesalahan prasangka saya. Mas Rahman ini ternyata orang yang sangat baik, perhatian pada kawan, ringan tangan, ramah dan suka menolong. Tambahkan dengan rajin menabung, maka dia pastilah mantan anggota pramuka.
Dalam kesehariannya, mas Rahman tinggal di Sukabumi. Dia tak pernah mengaku dengan jelas apa profesinya. Dia hanya merendah dengan mengatakannya sebagai pengangguran. Saya meragukan pengakuannya itu, mungkin hanya untuk melembutkan kenyataan bahwa dia adalah seorang enterpreneur muda yang memilih untuk hidup di atas kaki sendiri.
Kebaikan hati mas Rahman terlihat dari caranya membalas dendam. Ceritanya, mas Rahman ini minggu sebelumnya juga pergi mengunjungi situs gunung padang. Bersama beberapa kawan, dia mengendarai mobil dari Sukabumi menuju Cianjur. Sayangnya, informasi rute jalan menuju tempat ini tidak banyak dijumpai secara detil di dunia maya. Dengan berbekal informasi sangat minim tersebut, rombongan mas Rahman tersesat hingga 2 kali, membuat waktu tempuh perjalanan molor hingga berjam-jam. Pengalaman itu membuat mas Rahman sangat kesal dan mendendam. Jadi, dia menyalurkan dendamnya dengan segera menuliskan petunjuk rinci rute menuju gunung padang. Dia letakkan tulisannya itu di blog pribadinya, http://journey-to-maturity.blogspot.com/. Harapannya, orang lain tak akan tersesat seperti dirinya. Orang yang baik sekali, bukan ?!
Maka dari itulah saya merasa beruntung kenal dengannya. Saya yang tak sempat banyak melakukan pencarian informasi tentu saja sangat diuntungkan dengan tulisannya. Mas Rahman, menurut saya adalah satu diantara sekian banyak blogger dan traveller yang sangat berjasa dalam membuat perjalanan travelling menjadi semakin mudah. Berkat mereka, nyawa saya sudah lengkap kembali. Saya kembali menjadi kucing bernyawa banyak. Miaauww....
RIBUAN MIL MENUJU MASA LALU
Perjalanan kali ini dimulai dari emperan depan terminal bus DAMRI di kota Bogor. Seperti biasanya, tempat ini selalu ramai dipenuhi orang, karena inilah titik simpul strategis di kota hujan, tempat dimana terminal bus utama, pusat perbelanjaan modern, kampus, mulut jalan akses tol, pusat pariwisata utama (kebun raya), pasar dan pusat pemerintahan diletakkan berdekat-dekatan. Tak heran bila pemandangannya mirip gado-gado, sensasi warna, bau dan bunyi campur aduk berusaha saling mengatasi. Yang paling mencolok mata tentu adalah angkot-angkot yang merajai jalan. Warna hijaunya begitu mendominasi. Tempat ini benar-benar surga bagi penggemar angkot karena jumlahnya luar biasa banyak, saling susul, bertumpuk-tumpuk, sehingga rasanya istilah “menunggu angkot” atau “angkot ngetem lama” terdengar menggelikan.
Sempat juga terlintas dalam pikiran saya, dengan berjubelnya jumlah angkot, seberapa besar penghasilan sopir angkot tiap harinya ? Apa mereka tidak merugi dengan tingkat kompetisi yang begitu ketatnya ? Entahlah, saya tidak tahu. DYTBDN yang saya tanya juga hanya menggeleng malas. Tolong beritahu bila kau tahu jawabannya.
Lalu, apa yang saya lakukan disana menggendong tas punggung yang seperti mau meledak saking penuhnya ? Tak lain karena disinilah kami berjanji untuk bertemu dan memulai perjalanan menuju Cianjur. Awalnya kami mematok waktu pukul 11.00 sebagai waktu keberangkatan. Namun, karena mobil yang kami tunggu terjebak macet, kami baru berangkat tepat pukul 11.47 siang. Sedikit terlambat, tapi tak apalah. Masih ada cukup waktu untuk mencapai gunung padang.
Sesuai petunjuk mas Rahman, jalur yang kami tempuh adalah melewati puncak menuju Cianjur. Ini adalah jalur umum yang sudah jamak diketahui banyak orang. Jalannya yang tidak terlalu lebar itu membelah kawasan puncak yang kondang sebagai daerah tujuan peristirahatan. Hanya satu kekhawatiran kami, terjebak kemacetan. Jalur puncak telah lama dikenal sebagai jalur macet bila sudah menjelang akhir pekan. Beruntung, kekhawatiran kami tak terjadi. Selain sedikit antrian akibat mobil yang masuk ke dalam parit, tak ada lagi halangan berarti. Kami mulus hingga sampai Cianjur.
Perjalanan sebenarnya dimulai ketika kami sampai di perempatan besar Cianjur, lepas dari Puncak. Jalan lurus mengarah ke pusat kota, belok kiri ke arah bandung, sedang arah kanan menuju ke Sukabumi. Kami memilih belok kanan. Sang pengemudi, Pak Min belum pernah melewati jalan tersebut, sehingga murni kami mengandalkan petunjuk dari blog mas Rahman.
Titik penting dari perjalanan ini, menurut mas Rahman adalah warungkondang. Itu adalah nama sebuah kecamatan di Cianjur. Kenapa penting ? Karena meski situs gunung padang berada di wilayah desa Karyamukti, kecamatan Campaka, Cianjur, namun jalur masuknya justru berada di Warung kondang. Jadi kesanalah kami menuju. Dari persimpangan jalan besar cianjur, kira-kira berjarak setengah jam, melewati Cianjur supermall dan menyusuri satu-satunya jalan utama menuju ke arah Sukabumi.
Penanda utama kalau kita hampir sampai dengan tempat tujuan adalah bila kita telah menjumpai sebuah perempatan di warungkondang yang ramai karena terdapat pasar tradisional. Dari plang besar di sebelah kanan jalan, tertulis namanya adalah pasar warung kondang.
Dari pasar warungkondang, Pak Min mengurangi kecepatan kendaraan karena menurut mas Rahman, tak jauh lagi, sekira 1 km, akan ada persimpangan jalan menuju situs. Ada papan penunjuk arah berwarna coklat yang dipasang tinggi dekat persimpangan tersebut, kata mas Rahman. Maka sambil melajukan kendaraan, kami pun melongokkan kepala ke atas, takut terlewatkan papan penunjuk arah. Dan benarlah, tak lama kemudian kami menjumpai papan penunjuk arah tersebut diikuti oleh belokan ke kiri menuju jalan kecil yang tidak terlalu mencolok. Hanya ada pangkalan ojek dari kayu yang di atasnya ada spanduk menegaskan bahwa itulah jalan menuju situs gunung padang.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami memutuskan berhenti sebentar untuk sholat di masjid kecil dekat persimpangan tersebut. Penanda waktu di HP saya menunjukkan pukul 13.50. Tak terasa sekitar 2 jam kami berkendara dari Bogor tadi. Usai sholat, kami meneruskan perjalanan kembali.
Sejak dari persimpangan tersebut, dimulailah penyiksaan untuk mobil kami. Kondisi jalan akses yang tak terlalu lebar tersebut lumayan rusak. Disana-sini terdapat lubang, aspal yang hampir habis mengelupas, serta batu-batu kali sebagai penambal jalan. Terang saja mas Rahman juga mengeluhkan kondisi jalan ini.
Jeleknya kondisi jalan otomatis membuat perjalanan sedikit tersendat. Apalagi ukuran jalannya kecil dan berkelok. Mengherankan sekali. Situs gunung padang ini tercantum secara resmi di situs pemda Cianjur. Bahkan kabarnya, objek situs ini sering dipromosikan di even-even kepariwisataan. Tapi dengan kondisi akses jalan seperti itu, orang akan malas untuk berkunjung. Saya penasaran, apakah para pejabat yang membanggakan situs prasejarah ini pernah sekalipun menengoknya ? Kabarnya Wagub Jawa Barat, DedeYusuf pernah datang kesana, dan konon, atas alasan itulah separuh jalan diperbaiki buru-buru. Sangat khas indonesia sekali. Lalu kemudian saya berpikir kembali, mungkin masalahnya sangat klasik, kurangnya dana APBD yang tersedia untuk pengembangan daerah wisata. Kalau memang itu benar, saya tak bisa banyak berkata lagi.
Tapi memang begitulah keadaannya. Setelah melewati jalan rusak sepanjang hampir separuh perjalanan, jalanan mulai membaik. Kondisi aspalnya terhitung mulus. Walau laju kendaraan tak bisa dipacu kencang, karena berkelak-kelok dan dekat perumahan warga, setidaknya mobil kami tak tersiksa lagi.
Saya juga mengamati sepanjang perjalanan semenjak dari belokan tadi ada angkot no 43 berwarna abu-abu yang lalu lalang. Artinya akses ke situs bisa dicapai dengan kendaraan umum, begitu yang saya pikirkan di awal. Namun di bagian-bagian terakhir jalan, saya tidak mendapati lagi angkot tersebut. Mungkin angkot itu hanya sampai pertengahan jalan, tidak sampai ke ujung situs. Berarti mungkin ojek adalah satu-satunya transportasi umum paling praktis menuju situs.
Kira-kira 8 km dari situs, kami melintasi jalur rel dan perlintasan kecil kereta api. Kalau ditelusuri sedikit lagi, jalur itu akan sampai di sebuah stasiun kecil bernama Lampegan. Stasiun tua itu beserta terowongannya adalah salah satu yang tertua di tanah air dan sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Stasiun itu merupakan bagian dari rangkaian jalur kereta api Bogor - Sukabumi - Bandung. Keberadaannya bisa ditelusuri hingga ke masa lampau, jauh ketika terowongannya mulai dibangun tahun 1879 hingga 1882. Insinyur-insinyur Belanda yang membangunnya dengan melubangi gunung kancana hingga membentuk terowongan sepanjang 686 m. Tahun 2001, stasiun dan terowongan ini ditutup karena terkena longsor, dan diperbaiki kembali tahun 2006 oleh instansi terkait bersama beberapa tenaga ahli dari Jepang. Belum sempat digunakan, longsor kembali terjadi dan baru diperbaiki kembali tahun 2009. Waktu saya disana, tidak ada kereta yang lewat, jadi saya tak tahu apakah stasiun dan terowongannya sudah difungsikan kembali. Namun sepertinya stasiun tersebut akan lebih difungsikan untuk kepentingan wisata.
Perjalanan kami berlanjut. Kali ini jauh lebih bisa dinikmati. Mulai dari 6 km terakhir, jalanan beraspal sudah mulus, menaik dan berkelok. Pemandangannya sangat memanjakan mata. Rangkaian pegunungan terlihat saling bersebelahan. Gradasi warnanya, dari biru muda hingga kehijauan menampilkan kesan misterius yang justru menenangkan. Hamparan kebun teh dimana-mana, berbaris rapi mengikuti kontur perbukitan. Memandangnya dari kejauhan jadi mengingatkan pada karpet tebal nan empuk. Di beberapa tempat, kawanan pohon teh itu disela oleh pohon-pohon besar yang meranggas. Di suatu belokan, kami bahkan menemukan sebuah pohon berdaun lebat yang sedang dipenuhi bunga. Entah apa namanya. Warna bunganya yang orange menyala begitu kontras dengan latar belakang pegunungan dan rerimbunan hijaunya pepohonan lain, menciptakan perpaduan yang unik dan menarik.
Memasuki 3 km terakhir, ada sebuah percabangan jalan yang ditandai dengan sebuah tugu rusak. Kami tidak tahu jalan mana yang benar, jadi Pak Min berinisiatif mengambil jalan ke kanan. Jalan rusak menyambut kami. Mata saya nyalang mengawasi kesana kemari. Sejauh mata memandang, hanya ada kebun teh dimana-mana. Jarang sekali ada orang atau kendaraan yang terlihat. Susah kami untuk bertanya-tanya. Beruntung ditengah jalan ada seorang bapak yang mengendarai sepeda motor. Saya langsung turun dari mobil dan mencegatnya.
“Pak, jalan ke situs megalitikum gunung padang bener ini ?”, tanya saya. Bapak itu bukannya menjawab malah terdiam sambil menampakkan wajah kebingungan. Saya mengulang pertanyaan, “Situs purbakala dimana ya pak ? itu yang di gunung padang ?”. Barulah wajah si Bapak cerah sambil menggumam, “ohh gunung padang !!”. Sepertinya orang sini tidak mengenal istilah situs purbakala atau megalitikum. Mereka hanya tahunya gunung padang.
Bapak itu, setelah mendengar gunung padang, mulai nyerocos dengan cepatnya menggunakan bahasa sunda. Gantian saya yang kebingungan. Walaupun pernah tinggal lebih dari 4 tahun di bandung, tak membuat kemampuan saya berbahasa sunda menjadi baik. Memalukan sebenarnya tapi begitulah kenyataannya. Paling-paling saya hanya mengerti sedikit bila ada yang bicara. Tapi kalau sudah bicara cepat begitu, mana bisa saya mengerti. Maka komunikasi berikutnya lebih mengandalkan bahasa tubuh. Tangan si bapak itu bergerak aktif menunjuk-nunjuk. Bagi Pak Min dan DYTBDN yang tak mendengar suara kami karena hanya duduk di dalam mobil, mungkin mengira saya dan bapak itu berkomunikasi dengan lancar. Itu lah pengakuan saya pada mereka saat balik ke mobil. “Kata si bapak, jalannya sudah bener ini, tapi agak jauh katanya...”, terang saya pada Pak Min. Maka Pak Min pun meneruskan mobil itu mengikuti petunjuk saya, walaupun saya sendiri sebenarnya sedikit sangsi.
Karena masih ragu-ragu, begitu menemui rumah warga, saya pun menanyakan arah kembali. “Pak ini bener ke arah situs purbakala ? gunung padang ?”.
“Ohh gunung padang ? salah pak, bukan kesini. Itu tadi simpangan belok ke kiri. Balik aja lagi, trus ntar belok ke kanan kalau dari sini..”
Tuuhhh kan benar kesangsian saya. Kami salah jalan. Terpaksalah kami balik kucing kembali. Memang di tugu itu sama sekali tak terlihat penunjuk arah, yang berpotensi membuat orang bisa salah jalan. Belakangan kami baru tahu kalau jalan yang kami tempuh itu mengarah pada curug cikondang, sebuah air terjun di area itu yang menurut pengakuan orang sana cukup bagus pemandangannya. Sayang, waktu kami terbatas untuk menjelajah sampai kesana.
Berbeda dengan jalan sebelumnya, arah jalan yang benar menuju gunung padang kondisi aspalnya jauh lebih mulus. Perkebunan teh masih mendominasi hingga beberapa kilometer kemudian berganti dengan persawahan dan perkampungan warga. Jalan aspal segera berganti jadi jalan berbatu-batu dan tanah hingga kami tiba di sebuah gapura. Saya melirik penanda waktu di dashboard mobil. Pukul 15.45. Kami telah sampai. Inilah dia yang kami cari. Selamat datang di situs megalitikum terbesar se-Asia Tenggara, gunung padang !
Selasa, 07 Juni 2011
Dulu
Dulu...
setiap aku terbangunkan kumandang adzan shubuh,
selalu ku dapati satu pesan masuk dari mu di handphone ku,
"a,bangun..udah subuh,semangat ya.."
Lalu sambil tersenyum ku balas smsmu dengan singkat,
"ya..kamu jg ya"
Kamu mungkin ga tau,
betapa banyak kata2 yang sebenarnya ingin ku tuliskan saat itu,
tapi aku tidak menuliskannya,
Bukan aku tidak mau menuliskannya,
atau sekedar mengatakan terima kasih,
tapi entah mengapa,
walaupun sms yg sama datang setiap hari di waktu yang sama,
aku tetap membalasnya dengan jawaban yang sama...
itu seperti sudah menjadi sebuah rutinitas yang biasa,
hingga aku tak mengacuhkannya..
Tapi itu dulu..
dan sekarang aku baru menyadari,
semua itu lebih dari sebuah sms,
mungkin belum terlambat untuk ku ucapkan "terima kasih",
meski sudah tak pernah ku terima sms seperti itu lagi darimu...
setiap aku terbangunkan kumandang adzan shubuh,
selalu ku dapati satu pesan masuk dari mu di handphone ku,
"a,bangun..udah subuh,semangat ya.."
Lalu sambil tersenyum ku balas smsmu dengan singkat,
"ya..kamu jg ya"
Kamu mungkin ga tau,
betapa banyak kata2 yang sebenarnya ingin ku tuliskan saat itu,
tapi aku tidak menuliskannya,
Bukan aku tidak mau menuliskannya,
atau sekedar mengatakan terima kasih,
tapi entah mengapa,
walaupun sms yg sama datang setiap hari di waktu yang sama,
aku tetap membalasnya dengan jawaban yang sama...
itu seperti sudah menjadi sebuah rutinitas yang biasa,
hingga aku tak mengacuhkannya..
Tapi itu dulu..
dan sekarang aku baru menyadari,
semua itu lebih dari sebuah sms,
mungkin belum terlambat untuk ku ucapkan "terima kasih",
meski sudah tak pernah ku terima sms seperti itu lagi darimu...
Senin, 06 Juni 2011
"INILAH DIRIKU"
Aku tau,
kamu mengharapkan aku tampil sempurna di hadapanmu,
memakai setelan jas rapi,
memberimu bunga dan berkata romantis,
lalu mengajakmu makan malam di restoran mewah,
dengan sebatang lilin yang menyala redup di tengahnya,
seperti pria2 di film korea yg sering kamu tonton..
Aku juga mengerti,
kamu kecewa ketika aku datang padamu,
hanya dengan celana pendek,
kaos oblong dan sendal jepit,
membawa kantong plastik yang isinya jajanan jalanan..
Sungguh,
bukan aku tak mau atau tak mampu melakukan itu,
demi orang yang aku sayang,akan ku lakukan lebih dari itu..
Hanya saja,
aku menginginkan kamu menerimaku apa adanya,
sebagaimana aku terima kamu,
saling berbagi dalam keadaan apapun,
mencintai dan dicintai dengan sederhana..
Tolong,
jangan paksa aku untuk menjadi orang lain,
atau membandingkanku dengan lelaki lain,
itu menyakitkan untukku,
karena ini lah aku yang sebenarnya,
cintai atau tinggalkan aku...
kamu mengharapkan aku tampil sempurna di hadapanmu,
memakai setelan jas rapi,
memberimu bunga dan berkata romantis,
lalu mengajakmu makan malam di restoran mewah,
dengan sebatang lilin yang menyala redup di tengahnya,
seperti pria2 di film korea yg sering kamu tonton..
Aku juga mengerti,
kamu kecewa ketika aku datang padamu,
hanya dengan celana pendek,
kaos oblong dan sendal jepit,
membawa kantong plastik yang isinya jajanan jalanan..
Sungguh,
bukan aku tak mau atau tak mampu melakukan itu,
demi orang yang aku sayang,akan ku lakukan lebih dari itu..
Hanya saja,
aku menginginkan kamu menerimaku apa adanya,
sebagaimana aku terima kamu,
saling berbagi dalam keadaan apapun,
mencintai dan dicintai dengan sederhana..
Tolong,
jangan paksa aku untuk menjadi orang lain,
atau membandingkanku dengan lelaki lain,
itu menyakitkan untukku,
karena ini lah aku yang sebenarnya,
cintai atau tinggalkan aku...
"Curhat Sang Playboy"
Beberapa hari yangg lalu saya bertemu dengan teman lama, teman semasa SMA yang terkenal 'playboy', paling tidak itu yg saya dengar walaupun saya sendiri masih meragukannya, karena yang saya kenal dia cukup baik orangnya, jauh dari kesan nakal sama cewe atau apalah, tapi ya ga tau juga sih kalo di belakang.
Setelah sedikit bernostalgia masa2 SMA, akhirnya iseng saya tanya tentang predikat 'playboy' yg disandangnya.
Saya bilang 'enak lu ya, punya tampang cakep, anak orang tajir pula, pantes aj lu jd playboy wktu SMA, ga kaya gw, udah tampang pas2an, kismin pula'
tapi dia ngasih jawaban yg jauh dari yang saya perkirakan, bahkan menjadi sebuah obat dari ketidakpercayaan diri akan keadaan yg saya miliki selama ini,
dia bilang 'sumpah...gw sama sekali ga punya niatan buat jadi playboy, tp lu tau sendiri kan cewe2 yg deketin gw tuh rata2 mandang tampang & materi gw, gw ga bisa nemuin ketulusan di sana, akhirnya gw terus mencari dan mencari, bukan maksud gw ganti2 cewe, tp gw pengen dapet yg bner2 tulus nerima gw, gw pikir lu malah lebih beruntung dgn semua yg lu anggap kekurangan lu'
saya tanya 'qo bisa gitu?'
dia jawab 'lu bayangin deh, dgn kekurangan yg lu punya, trus ada cewe yg mau ama lu, apa lu pikir tu cewe ga tulus???kenapa gw bilang gtu, karena berarti dia bisa menerima semua keterbatasan lu dari segi fisik atau materi, itu yg gw cari, ngerti ga lu???bkn liat dari apa kelebihan lu'
terlepas dari benar atau tidak yg dia katakan, akhirnya seketika itu juga saya tersadar, betapa selama ini sangat tidak bersyukurnya saya atas keadaan yang saya miliki.
Terima kasih teman, semoga saya, kamu dan kita semua mendapatkan yg terbaik.
Setelah sedikit bernostalgia masa2 SMA, akhirnya iseng saya tanya tentang predikat 'playboy' yg disandangnya.
Saya bilang 'enak lu ya, punya tampang cakep, anak orang tajir pula, pantes aj lu jd playboy wktu SMA, ga kaya gw, udah tampang pas2an, kismin pula'
tapi dia ngasih jawaban yg jauh dari yang saya perkirakan, bahkan menjadi sebuah obat dari ketidakpercayaan diri akan keadaan yg saya miliki selama ini,
dia bilang 'sumpah...gw sama sekali ga punya niatan buat jadi playboy, tp lu tau sendiri kan cewe2 yg deketin gw tuh rata2 mandang tampang & materi gw, gw ga bisa nemuin ketulusan di sana, akhirnya gw terus mencari dan mencari, bukan maksud gw ganti2 cewe, tp gw pengen dapet yg bner2 tulus nerima gw, gw pikir lu malah lebih beruntung dgn semua yg lu anggap kekurangan lu'
saya tanya 'qo bisa gitu?'
dia jawab 'lu bayangin deh, dgn kekurangan yg lu punya, trus ada cewe yg mau ama lu, apa lu pikir tu cewe ga tulus???kenapa gw bilang gtu, karena berarti dia bisa menerima semua keterbatasan lu dari segi fisik atau materi, itu yg gw cari, ngerti ga lu???bkn liat dari apa kelebihan lu'
terlepas dari benar atau tidak yg dia katakan, akhirnya seketika itu juga saya tersadar, betapa selama ini sangat tidak bersyukurnya saya atas keadaan yang saya miliki.
Terima kasih teman, semoga saya, kamu dan kita semua mendapatkan yg terbaik.
Minggu, 05 Juni 2011
"Menuju Situs Megalithikum Gunung Padang Cianjur Part I"
Sebelumnya saya mohon maaf karena di sini saya lebih banyak fokus pada ‘bagaimana mencapai lokasi tanpa nyasar’ daripada penjelasan ilmiah atau fiksi dan sebagainya tentang “SITUS MEGALITHIKUM” di gunung padang Cianjur.
Dimulai dari pertanyaan seorang teman di facebook (fidoh) tentang gunung padang, dengan penuh antusias saya melemparkan pertanyaan itu pada teman lain yang memang orang padang, ternyata gunung padang yang dimaksud bukan berada di padang tetapi tidak jauh dari kampung halaman saya Sukabumi, yaitu di Cianjur.
Karena itu fidoh meminta saya untuk menjadi guide untuk mengunjungi tempat tersebut (aslinya saya juga ga tau sama sekali tentang keberadaan tempat itu), setelah browsing sana sini, ada beberapa blog yang menerangkan keberadaannya, tetapi kebanyakan hanya sebatas hipotesa dan teori2 bagaimana, kapan, siapa, mengapa, dan apa yang menyebabkan situs tersebut terbentuk, dan sedikit sekali tentang penjelasan bagaimana akses untuk mencapai lokasi tersebut.
Tanggal 04 Juni 2011, jam 06.00 berangkatlah teman2 BPI dari Jakarta menuju cianjur via puncak (Rika, Rifki, Riza, Nurul, Ofie) dan saya sendiri dari sukabumi untuk kemudian bertemu di Cianjur (ga usah diceritain deh gimana ribetnya pas janji ketemuan, karena salah faham lokasi ketemu dan sebelumnya saya belum pernah bertemu mereka *durasi*).
Alasan kenapa saya lebih memilih untuk menulis ‘bagaimana mencapai lokasi tanpa nyasar’ selain memang tidak berkompeten jika harus menerangkan mengenai sejarah situs ini, juga karena kemarin kita sempet nyasar 2 kali, akibat kurangnya informasi mengenai akses ke lokasi, saya sendiri hanya mengandalkan keterangan bahwa gunung padang masuk ke dalam desa Karyamukti kecamatan Campaka, jadi saya pikir untuk mencapai lokasi minimal saya harus menuju kecamatan campaka, ternyata saya salah besar, akses masuk menuju lokasi justru jauh berada sebelum kecamatan Campaka yaitu di sekitar kecamatan Warung Kondang, bahkan jika kita memulai perjalanan dari arah Sukabumi, kecamatan Warung Kondang berada beberapa kilo meter sebelum Cianjur. Sebenarnya untuk menuju lokasi ini tidak terlalu sulit, di jalan Cianjur – Sukabumi sudah ada papan penunjuk arah menuju lokasi ini, tapi hanya bisa dilihat jika kita memulai perjalanan dari arah Cianjur, sedangkan kalau kita datang dari arah Sukabumi kita tidak bisa melihatnya karena papan petunjuk hanya bisa dilihat dari satu sisi saja.
Untuk menuju ke lokasi menggunakan kendaraan pribadi dari Jakarta, ada dua alternative :
1. Via Puncak – Cianjur –Warung Kondang – Lokasi
Setelah keluar jalur puncak, ambil arah menuju Sukabumi (kanan), terus saja lurus sampai anda menemukan sebuah kota kecil Warung Kondang,di sana ada perempatan, tapi untuk menuju lokasi bukan persimpangan itu yang kita masuki, terus lanjutkan perjalanan, sekitar 1 km dari situ, anda akan menemukan persimpangan menuju lokasi dan di situ sebenarnya sudah ada papan petunjuk bertuliskan “situs megalithikum 20 km” hanya saja posisinya cukup tinggi untuk sebuah papan petunjuk, dan berwarna cokelat, jadi mungkin kurang jelas, maka rajin2lah tengok ke atas. Memasuki jalan ini awalnya kita akan disuguhi trek yang kurang mengenakan, aspal jelek dan berlubang, saya dan teman2 membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam untuk mengakses jalan sejauh 20 km tersebut,
karena selain jalanan rusak kendaraan yang kami gunakan sepertinya kurang compatible untuk menuju kesana (hati2 keguguran kalo anda sedang hamil), tetapi setelah kurang lebih 8 km anda akan merasa sedikit lega karena jalanan cukup baik (menurut keterangan sang kuncen situs, jalan di perbaiki dadakan karena saat itu Wagub Jabar Bp.Dede Yusuf berkunjung ke sana..*sering2 berkunjung ya pak* lanjut…!!! ), sekitar 6 km sebelum lokasi kita akan menemukan persimpangan lagi, dan di situ juga ada sebuah statsiun kereta api bernama “Lampegan”, berbeloklah menanjak ke kiri dan dimulai dari situlah perjalanan akan mulai terasa menyenangkan, menyusuri jalan di “PTPN VIII Panyairan” dengan udara segar dan hamparan perkebunan teh di kanan kiri serta gunung2 sejauh mata memandang (matikan AC, lalu buka kaca mobil anda, hirup dalam2 udara yang ada, manjakan sejenak paru2 anda dengan oksigen yang belum terkontaminasi), 3 km menjelang lokasi anda akan kembali menemukan persimpangan, ambil arah kanan, jalanan agak berbatu, sekitar 100 m dari situ akan ada sebuah lapangan sepak bola dan sebuah persimpangan lagi dengan sebuah tugu di tengahnya (ga jelas tugu apa, karena sudah rusak) kali ini ambil arah kiri, terus lanjutkan perjalanan di tengah perkebunan teh, 1 km sebelum lokasi anda akan bertemu sebuah turunan dengan jalan yang kecil (hati2, karena jika berpapasan dengan mobil lain akan cukup merepotkan), 200 m menjelang lokasi inilah kita akan menemukan tanjakan dengan jalanan berbatu, akhirnya 100 m sebelum lokasi saya dan teman2 lebih memilih trekking dan menitipkan kendaraan pada pemilik warung di sekitar situ, sampailah kita di pintu gerbang “SITUS MEGALITHIKUM GUNUNG PADANG” Tapi jangan senang dulu, karena untuk mencapai lokasi kita harus mendaki lebih dari 300 anak tangga yang tebuat dari batu dengan sudut kemiringan mencapai 60 derajat, dan semua itu akan terbayar saat kita sampai di atas, terasa memasuki dimensi berbeda dan terlempar menuju ribuan tahun yang lalu dimana peradaban manusia masih didominasi oleh perkakas yang terrbuat dari batu (silahkan beropini, berhipotesa, ataupun mengarang bebas dengan apa yang anda lihat di lokasi karena penjaga situs di sini lebih banyak menceritakan mitos dan cerita turun temurun daripada penjelasan ilmiah tentang terbentuknya situs ini).
2. Via Ciawi – Sukabumi – Warung Kondang – Lokasi
Keluar tol ciawi, lanjutkan perjalanan menuju Sukabumi lalu menuju Cianjur, sebelum Cianjur anda akan sampai di sebuah kota kecil “Warung Kondang” dan seperti saya tulis di atas papan petunjuk tidak bisa dilihat jika kita datang dari arah Sukabumi, jadi untuk memastikannya anda lanjutkan saja perjalanan sampai Warung Kondang, lalu berbalik arah menuju sukabumi kembali kurang lebih 1 km sampai anda menemukan persimpangan sebelah kiri dengan tulisan “situs megalithikum 20 km” dan untuk seterusnya sama seperti yang saya tulis di atas.
*Untuk akses menuju lokasi dengan kendaraan umum, tunggu posting saya berikutnya karena harus survey ongkos dan kendaraan apasaja yang tersedia menuju kesana, saya sendiri kurang faham mengenai hal itu, jadi mohon bersabar, tapi secara garis besar anda hanya perlu mencapai kota Warung Kondang, dan kalo saya tidak salah lihat ada angkot berwarna putih/krem dengan trayek Wr.Kondang – Cikancana (kalo ga salah), tetapi tidak sampai ke lokasi, sisanya bisa naik ojek atau sewa angkot, semoga bermanfaat*
Dimulai dari pertanyaan seorang teman di facebook (fidoh) tentang gunung padang, dengan penuh antusias saya melemparkan pertanyaan itu pada teman lain yang memang orang padang, ternyata gunung padang yang dimaksud bukan berada di padang tetapi tidak jauh dari kampung halaman saya Sukabumi, yaitu di Cianjur.
Karena itu fidoh meminta saya untuk menjadi guide untuk mengunjungi tempat tersebut (aslinya saya juga ga tau sama sekali tentang keberadaan tempat itu), setelah browsing sana sini, ada beberapa blog yang menerangkan keberadaannya, tetapi kebanyakan hanya sebatas hipotesa dan teori2 bagaimana, kapan, siapa, mengapa, dan apa yang menyebabkan situs tersebut terbentuk, dan sedikit sekali tentang penjelasan bagaimana akses untuk mencapai lokasi tersebut.
Tanggal 04 Juni 2011, jam 06.00 berangkatlah teman2 BPI dari Jakarta menuju cianjur via puncak (Rika, Rifki, Riza, Nurul, Ofie) dan saya sendiri dari sukabumi untuk kemudian bertemu di Cianjur (ga usah diceritain deh gimana ribetnya pas janji ketemuan, karena salah faham lokasi ketemu dan sebelumnya saya belum pernah bertemu mereka *durasi*).
Alasan kenapa saya lebih memilih untuk menulis ‘bagaimana mencapai lokasi tanpa nyasar’ selain memang tidak berkompeten jika harus menerangkan mengenai sejarah situs ini, juga karena kemarin kita sempet nyasar 2 kali, akibat kurangnya informasi mengenai akses ke lokasi, saya sendiri hanya mengandalkan keterangan bahwa gunung padang masuk ke dalam desa Karyamukti kecamatan Campaka, jadi saya pikir untuk mencapai lokasi minimal saya harus menuju kecamatan campaka, ternyata saya salah besar, akses masuk menuju lokasi justru jauh berada sebelum kecamatan Campaka yaitu di sekitar kecamatan Warung Kondang, bahkan jika kita memulai perjalanan dari arah Sukabumi, kecamatan Warung Kondang berada beberapa kilo meter sebelum Cianjur. Sebenarnya untuk menuju lokasi ini tidak terlalu sulit, di jalan Cianjur – Sukabumi sudah ada papan penunjuk arah menuju lokasi ini, tapi hanya bisa dilihat jika kita memulai perjalanan dari arah Cianjur, sedangkan kalau kita datang dari arah Sukabumi kita tidak bisa melihatnya karena papan petunjuk hanya bisa dilihat dari satu sisi saja.
Untuk menuju ke lokasi menggunakan kendaraan pribadi dari Jakarta, ada dua alternative :
1. Via Puncak – Cianjur –Warung Kondang – Lokasi
Setelah keluar jalur puncak, ambil arah menuju Sukabumi (kanan), terus saja lurus sampai anda menemukan sebuah kota kecil Warung Kondang,di sana ada perempatan, tapi untuk menuju lokasi bukan persimpangan itu yang kita masuki, terus lanjutkan perjalanan, sekitar 1 km dari situ, anda akan menemukan persimpangan menuju lokasi dan di situ sebenarnya sudah ada papan petunjuk bertuliskan “situs megalithikum 20 km” hanya saja posisinya cukup tinggi untuk sebuah papan petunjuk, dan berwarna cokelat, jadi mungkin kurang jelas, maka rajin2lah tengok ke atas. Memasuki jalan ini awalnya kita akan disuguhi trek yang kurang mengenakan, aspal jelek dan berlubang, saya dan teman2 membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam untuk mengakses jalan sejauh 20 km tersebut,
karena selain jalanan rusak kendaraan yang kami gunakan sepertinya kurang compatible untuk menuju kesana (hati2 keguguran kalo anda sedang hamil), tetapi setelah kurang lebih 8 km anda akan merasa sedikit lega karena jalanan cukup baik (menurut keterangan sang kuncen situs, jalan di perbaiki dadakan karena saat itu Wagub Jabar Bp.Dede Yusuf berkunjung ke sana..*sering2 berkunjung ya pak* lanjut…!!! ), sekitar 6 km sebelum lokasi kita akan menemukan persimpangan lagi, dan di situ juga ada sebuah statsiun kereta api bernama “Lampegan”, berbeloklah menanjak ke kiri dan dimulai dari situlah perjalanan akan mulai terasa menyenangkan, menyusuri jalan di “PTPN VIII Panyairan” dengan udara segar dan hamparan perkebunan teh di kanan kiri serta gunung2 sejauh mata memandang (matikan AC, lalu buka kaca mobil anda, hirup dalam2 udara yang ada, manjakan sejenak paru2 anda dengan oksigen yang belum terkontaminasi), 3 km menjelang lokasi anda akan kembali menemukan persimpangan, ambil arah kanan, jalanan agak berbatu, sekitar 100 m dari situ akan ada sebuah lapangan sepak bola dan sebuah persimpangan lagi dengan sebuah tugu di tengahnya (ga jelas tugu apa, karena sudah rusak) kali ini ambil arah kiri, terus lanjutkan perjalanan di tengah perkebunan teh, 1 km sebelum lokasi anda akan bertemu sebuah turunan dengan jalan yang kecil (hati2, karena jika berpapasan dengan mobil lain akan cukup merepotkan), 200 m menjelang lokasi inilah kita akan menemukan tanjakan dengan jalanan berbatu, akhirnya 100 m sebelum lokasi saya dan teman2 lebih memilih trekking dan menitipkan kendaraan pada pemilik warung di sekitar situ, sampailah kita di pintu gerbang “SITUS MEGALITHIKUM GUNUNG PADANG” Tapi jangan senang dulu, karena untuk mencapai lokasi kita harus mendaki lebih dari 300 anak tangga yang tebuat dari batu dengan sudut kemiringan mencapai 60 derajat, dan semua itu akan terbayar saat kita sampai di atas, terasa memasuki dimensi berbeda dan terlempar menuju ribuan tahun yang lalu dimana peradaban manusia masih didominasi oleh perkakas yang terrbuat dari batu (silahkan beropini, berhipotesa, ataupun mengarang bebas dengan apa yang anda lihat di lokasi karena penjaga situs di sini lebih banyak menceritakan mitos dan cerita turun temurun daripada penjelasan ilmiah tentang terbentuknya situs ini).
2. Via Ciawi – Sukabumi – Warung Kondang – Lokasi
Keluar tol ciawi, lanjutkan perjalanan menuju Sukabumi lalu menuju Cianjur, sebelum Cianjur anda akan sampai di sebuah kota kecil “Warung Kondang” dan seperti saya tulis di atas papan petunjuk tidak bisa dilihat jika kita datang dari arah Sukabumi, jadi untuk memastikannya anda lanjutkan saja perjalanan sampai Warung Kondang, lalu berbalik arah menuju sukabumi kembali kurang lebih 1 km sampai anda menemukan persimpangan sebelah kiri dengan tulisan “situs megalithikum 20 km” dan untuk seterusnya sama seperti yang saya tulis di atas.
*Untuk akses menuju lokasi dengan kendaraan umum, tunggu posting saya berikutnya karena harus survey ongkos dan kendaraan apasaja yang tersedia menuju kesana, saya sendiri kurang faham mengenai hal itu, jadi mohon bersabar, tapi secara garis besar anda hanya perlu mencapai kota Warung Kondang, dan kalo saya tidak salah lihat ada angkot berwarna putih/krem dengan trayek Wr.Kondang – Cikancana (kalo ga salah), tetapi tidak sampai ke lokasi, sisanya bisa naik ojek atau sewa angkot, semoga bermanfaat*
Unforgettable Experience of Sawarna
Jum’at 22 april 2011
Setelah penantian panjang selama kurang lebih 2 bulan,akhirnya hari yang dinanti tiba juga, hari Jum’at tanggal 22 april 2011 saya beserta 13 orang teman2 dari BPI melakukan perjalanan ke desa Sawarna di daerah Banten selatan. Perjalanan dimulai dari meeting point di terminal Baranang Siang (Bogor) jam 08.00, 11 orang teman dari jakarta dan sekitarnya ditambah 2 orang teman dari jogja berangkat dari Bogor, saya sendiri nunggu di pertigaan pelabuhan ratu (Cibadak) karena domisili di Sukabumi, jam 10.00 bis dari bogor yang ditumpangi teman2 tiba di tempat saya menunggu, perjalananpun dilanjutkan, tiba di Pelabuan Ratu sekitar jam 11.50, karena hari Jum’at akhirnya teman2 yang cowo melakukan Shalat Jum’at dulu di Pelabuan Ratu, sementara yang cewe nunggu di elf yg sebelumnya sudah saya carter (elf Pelabuan Ratu – Bayah yang melewati sawarna hanya 1x/hari).
Selesai melakukan Shalat Jum’at perjalanan dilanjutkan, tiba di Sawarna sekitar jam 14.30 dan langsung menuju Homestay “WIDI”. Tanpa banyak basa-basi kami dipersilahkan langsung makan, di situ kami bertemu dnegan 2 orang teman BPI dari Gresik yang tiba hampir berbarengan (selanjutnya mereka gabung rombongan kita), selesai makan kami diantar ke tempat kami akan bermalam.
Setelah sejenak melepas penat selama perjalanan, jam 16.30 kami menuju pantai Ciantir untuk berburu sunset, dari homestay menuju pantai cukup dekat, sekitar 5 menit berjalan kaki. Menyusuri pantai dengan pasir yg lembut, ombak yg besar dan karang2 yg tajam, perlu diketahui jg, saya satu2nya orang yg ga pake alas kaki selama trekking di sawarna (uuuhhh..ga penting banget sih..!!!hehehe..). Cuaca sore itu lumayan cerah tapi berawan, alhasil sunset yang kami dapatkan kurang maksimal tapi cukup memuaskan mengingat cuaca yang tidak menentu saat itu.
Sungguh luara biasa, pemandangan yang sebenarnya tidak asing, karena saya yakin kita semua pernah menggambarnya saat kecil, matahari tenggelam menuju lautan di antara pegunungan, membiaskan cahaya keemasan, dan saat itu semuanya terwujud dalam nyata di depan mata, sebuah mahakarya Yang Maha Kuasa..Subhanallah…
Jam 18.00 kami kembali ke homestay untuk mandi (kebayang ga sih antri 1 kamar mandi buat 13 orang???) karena penantian panjang yang tak berujung, jam 19.00 akhirnya saya memutuskan untuk menumpang mandi di rumah pemilik homestay (Ibu Ade) yang ternyata penuh juga (so sweet…!!!), sambil nunggu akhirnya saya bikin kopi di rumah Bu Ade, waktu bikin kopi itulah saya bertemu 2 orang bule dari Venezuela, setelah berkenalan lanjut ngobrol ngalor ngidul saya malah lupa mandi, padahal yang lain sudah beres mandi dan makan malam juga, alhasil saya mandi jam 21.00 lanjut makan malam sendirian (hiks…).
Karena besoknya ingin mengejar sunrise, lalu saya konfirmasi dan nanya2 ke guide (kang aji) pantai mana yang bagus untuk sunrise dan jam berapa sebaiknya kami memulai perjalanan, ternyata eh ternyata kami harus sudah mulai start jam 04.00 pagi karena jarak pantai Lagon Pari (sunrise spot view) yang akan kami tuju cukup jauh dan memakan waktu 1.5 jam perjalanan berjalan kaki, keki juga sih dengernya, tapi misi tetap harus dilanjutkan demi menyelamatkan umat manusia dari kepunahan (mulai deh ni lebe nya…), akhirnya kami setuju dan sepakat kang aji akan menjemput kami ke homestay, dengan kompensasi Shalat Shubuh di lakukan di perjalanan.
Malam itu kami habiskan dengan acara memperkenalkan diri (aneh ya,udah seharian barengan baru kenalan).
Sabtu 23 april 2011
Jam 03.30 kami bangun dengan penuh semangat (semangat dari hongkong..???)dan prepare buat treking, waktupun berlalu jam menunjukan pukul 04.10 tapi kang aji belum juga nongol (naluri saya sebagai tukang tidur berkata bahwa kang aji pasti masih tidur) akhirnya saya telpon bu ade dan dugaan saya tepat, kang aji memang masih tidur (horeee….!!!..lho..!???).
Tak berapa lama kang aji pun tiba di homestay dan karena tidak mau ketinggalan sunrise, kami langsung cabut (ternyata ada rekan dari Jakarta yg nebeng buat treking karena mereka hanya 4 orang), jadi deh kita jalan 20 orang di pagi buta.
Sekitar jam 05.30 kami sampai di pantai lagon pari, tapi sepertinya keadaan tidak menampakan munculnya sunrise, mengingat cuaca yg jg kurang mendukung, sampai jam 06.00 lewat cuaca tetap ga berubah (mission aborted).
Untuk mengobati kekecewaan, akhirnya kang aji mengajak kami ke jajaran karang yg tidak jauh dari pantai lagon pari, di sana narsis & eksis kami pun seperti di fasilitasi, jepret sana sini, beberapa orang bahkan nekat naik ke karang yg agak jauh di tengah, alhasil saat ada ombak pasang mereka terjebak di karang tersebut (rasain lu..!!!hahahaha..).
Treking kami lanjutkan menuju Goa Lalay, lalay dalam bahasa Indonesia berarti kelelawar, setelah mendaki gunung lewati lembah, akhirnya kami sampai di mulut goa yang ternyata di dasar goa mengalir air, jadi deh kita semua bertelanjang kaki menyusuri goa, karena selain air dasarnya jg dipenuhi pasir/Lumpur.
Selesai caving, kami memutuskan untuk kembali ke homestay dan makan pagi sekitar jam 09.00, setelah makan akhirnya tiba saat untuk memenuhi hasrat yang selama ini terpendam BERENANG DI PANTAI (taaarrraaaaa….!!!) beberapa jam berenang kami semua pulang ke homestay untuk membersihkan diri (tetep dengan budaya antri yg mulai terpupuk dalam hati), semua akhirnya tepar juga karena kelelahan.
Jam menunjukan pukul 13.00, kami semua terbangun dari mimpi karena harus shalat dzuhur dan makan siang, waktu yang terlalu sebentar untuk melepas lelah setelah treking & caving, tapi masih ada 1 tempat yang akan kami kunjungi yaitu TANJUNG LAYAR, dinamai seperti itu karena memang di situ berdiri 2 buah karang yang kokoh berbentuk seperti layar. Seperti biasa, naluri & insting narsis kami mulai kambuh, bahkan karang yg terjal dan tinggi itu pun coba dinaiki oleh beberapa teman, tujuannya hanya satu ‘untuk sekedar eksis & narsis’ di poto.
Tak terlalu lama kami menyusuri tanjung layer ini, karena memang tempatnya yang terbatasi karang, kami kembali ke homestay sambil menyusuri pantai dan melihat beberapa surfer bule yang sedang beraksi (kebanyakan yang surfing di sini memang surfer dari luar negri). Maunya masih terus menikmati pemandangan, tapi tiba2 gerimis mengundang dan memaksa kami untuk kembali ke homestay lebih cepat.
Sejenak beristirahat di homestay, teman2 yang lain kembali ke pantai untuk berenang, saya sendiri lebih memilih ngopi2 di rumah pemilik homestay.
Malam merambat, untuk mengisi waktu di malam terakhir petualangan kami, beberapa teman mengusulkan untuk membuat api unggun di pantai, dan akhirnya malam itu pun kami habiskan dengan 2 ekor ayam bakar, nyanyi2 (ga jelas sih sebenernya), dan sekedar saling memberikan kesan, pesan, ide dan usulan untuk tempat yang akan kami kunjungi selanjutnya.
Jam 23.00 kami semua kembali ke homestay untuk beristirahat.
Minggu 24 april 2011
Sebenarnya kami masih rindu suasana seperti ini, damai, tenang, keramahan dan senyum penduduk yang tulus, dan yang paling berkesan adalah kekompakan teman2 yang ikut perjalanan ini, walaupun sebelumnya kita hanya saling kenal dari dunia si maya, tapi kami begitu menyatu, saling peduli satu sama lainnya, hampir tak ada salah faham atau kekeliruan yang berarti di antara kami, semua begitu menjunjung tinggi solideritas dan musyawarah.
Pagi itu beberapa teman ada yang masih belum puas dan kembali ke pantai, padahal demi mengejar kereta menuju jogja, kami sepakat untuk memulai perjalanan pulang jam 07.00, tapi (lagi2) seperti biasa, ngaret sudah mendarah daging, kami baru bisa mulai jalan sekitar jam 07.45.
Elf yang kami pesan sebelumnya sudah menunggu di parkiran, karena ada beberapa teman lain yang ikut gabung akhirnya saya dan 3 teman lain memutuskan untuk menumpang di atas kabin elf daripada haruas desak2an (sebenernya sih emang udah niat..wkwkwk..), perjalanan pun dimulai, dengan naik di kabin niatnya sih pengen dapet gambar2 yang bagus buat poto2, tapi kenyataan berkata lain, di sepanjang jalan kami hampir harus selalu rebahan untuk menghindari batang2 pohon yang menjorok ke jalan, dan sepertinya pak supir lupa atau ga tau kalo di atas ada orang, hingga memacu kendaraan seenak udel nya, alhasil hanya sedikit gambar yang kami dapat dari atas kabin elf ini.
Sampai di terminal pelabuan ratu sekitar jam 10.00 (narsis tetep kambuh walaupun di terminal), perjalanan dilanjutkan dengan bis pelabuan ratu-bogor, menjelang pertigaan cibadak saya pamitan pada teman2, karena tak lama lagi saya harus turun dari bis.
Sampai jumpa lagi kawan, unforgettable experience…ditunggu ke sawarna2 lainnya..
Rincian biaya :
Bis MGI Bogor – Pelabuan Ratu : Rp. 25.000
Elf Pelabuan Ratu – Sawarna : Rp. 25.000
Homestay : Rp. 80.000/orang/hari (include 3x makan dll)
Retribusi masuk Desa Sawarna : Rp. 2.000/orang
Retribusi masuk Goa Lalay : Rp. 2.000/orang
Setelah penantian panjang selama kurang lebih 2 bulan,akhirnya hari yang dinanti tiba juga, hari Jum’at tanggal 22 april 2011 saya beserta 13 orang teman2 dari BPI melakukan perjalanan ke desa Sawarna di daerah Banten selatan. Perjalanan dimulai dari meeting point di terminal Baranang Siang (Bogor) jam 08.00, 11 orang teman dari jakarta dan sekitarnya ditambah 2 orang teman dari jogja berangkat dari Bogor, saya sendiri nunggu di pertigaan pelabuhan ratu (Cibadak) karena domisili di Sukabumi, jam 10.00 bis dari bogor yang ditumpangi teman2 tiba di tempat saya menunggu, perjalananpun dilanjutkan, tiba di Pelabuan Ratu sekitar jam 11.50, karena hari Jum’at akhirnya teman2 yang cowo melakukan Shalat Jum’at dulu di Pelabuan Ratu, sementara yang cewe nunggu di elf yg sebelumnya sudah saya carter (elf Pelabuan Ratu – Bayah yang melewati sawarna hanya 1x/hari).
Selesai melakukan Shalat Jum’at perjalanan dilanjutkan, tiba di Sawarna sekitar jam 14.30 dan langsung menuju Homestay “WIDI”. Tanpa banyak basa-basi kami dipersilahkan langsung makan, di situ kami bertemu dnegan 2 orang teman BPI dari Gresik yang tiba hampir berbarengan (selanjutnya mereka gabung rombongan kita), selesai makan kami diantar ke tempat kami akan bermalam.
Setelah sejenak melepas penat selama perjalanan, jam 16.30 kami menuju pantai Ciantir untuk berburu sunset, dari homestay menuju pantai cukup dekat, sekitar 5 menit berjalan kaki. Menyusuri pantai dengan pasir yg lembut, ombak yg besar dan karang2 yg tajam, perlu diketahui jg, saya satu2nya orang yg ga pake alas kaki selama trekking di sawarna (uuuhhh..ga penting banget sih..!!!hehehe..). Cuaca sore itu lumayan cerah tapi berawan, alhasil sunset yang kami dapatkan kurang maksimal tapi cukup memuaskan mengingat cuaca yang tidak menentu saat itu.
Sungguh luara biasa, pemandangan yang sebenarnya tidak asing, karena saya yakin kita semua pernah menggambarnya saat kecil, matahari tenggelam menuju lautan di antara pegunungan, membiaskan cahaya keemasan, dan saat itu semuanya terwujud dalam nyata di depan mata, sebuah mahakarya Yang Maha Kuasa..Subhanallah…
Jam 18.00 kami kembali ke homestay untuk mandi (kebayang ga sih antri 1 kamar mandi buat 13 orang???) karena penantian panjang yang tak berujung, jam 19.00 akhirnya saya memutuskan untuk menumpang mandi di rumah pemilik homestay (Ibu Ade) yang ternyata penuh juga (so sweet…!!!), sambil nunggu akhirnya saya bikin kopi di rumah Bu Ade, waktu bikin kopi itulah saya bertemu 2 orang bule dari Venezuela, setelah berkenalan lanjut ngobrol ngalor ngidul saya malah lupa mandi, padahal yang lain sudah beres mandi dan makan malam juga, alhasil saya mandi jam 21.00 lanjut makan malam sendirian (hiks…).
Karena besoknya ingin mengejar sunrise, lalu saya konfirmasi dan nanya2 ke guide (kang aji) pantai mana yang bagus untuk sunrise dan jam berapa sebaiknya kami memulai perjalanan, ternyata eh ternyata kami harus sudah mulai start jam 04.00 pagi karena jarak pantai Lagon Pari (sunrise spot view) yang akan kami tuju cukup jauh dan memakan waktu 1.5 jam perjalanan berjalan kaki, keki juga sih dengernya, tapi misi tetap harus dilanjutkan demi menyelamatkan umat manusia dari kepunahan (mulai deh ni lebe nya…), akhirnya kami setuju dan sepakat kang aji akan menjemput kami ke homestay, dengan kompensasi Shalat Shubuh di lakukan di perjalanan.
Malam itu kami habiskan dengan acara memperkenalkan diri (aneh ya,udah seharian barengan baru kenalan).
Sabtu 23 april 2011
Jam 03.30 kami bangun dengan penuh semangat (semangat dari hongkong..???)dan prepare buat treking, waktupun berlalu jam menunjukan pukul 04.10 tapi kang aji belum juga nongol (naluri saya sebagai tukang tidur berkata bahwa kang aji pasti masih tidur) akhirnya saya telpon bu ade dan dugaan saya tepat, kang aji memang masih tidur (horeee….!!!..lho..!???).
Tak berapa lama kang aji pun tiba di homestay dan karena tidak mau ketinggalan sunrise, kami langsung cabut (ternyata ada rekan dari Jakarta yg nebeng buat treking karena mereka hanya 4 orang), jadi deh kita jalan 20 orang di pagi buta.
Sekitar jam 05.30 kami sampai di pantai lagon pari, tapi sepertinya keadaan tidak menampakan munculnya sunrise, mengingat cuaca yg jg kurang mendukung, sampai jam 06.00 lewat cuaca tetap ga berubah (mission aborted).
Untuk mengobati kekecewaan, akhirnya kang aji mengajak kami ke jajaran karang yg tidak jauh dari pantai lagon pari, di sana narsis & eksis kami pun seperti di fasilitasi, jepret sana sini, beberapa orang bahkan nekat naik ke karang yg agak jauh di tengah, alhasil saat ada ombak pasang mereka terjebak di karang tersebut (rasain lu..!!!hahahaha..).
Treking kami lanjutkan menuju Goa Lalay, lalay dalam bahasa Indonesia berarti kelelawar, setelah mendaki gunung lewati lembah, akhirnya kami sampai di mulut goa yang ternyata di dasar goa mengalir air, jadi deh kita semua bertelanjang kaki menyusuri goa, karena selain air dasarnya jg dipenuhi pasir/Lumpur.
Selesai caving, kami memutuskan untuk kembali ke homestay dan makan pagi sekitar jam 09.00, setelah makan akhirnya tiba saat untuk memenuhi hasrat yang selama ini terpendam BERENANG DI PANTAI (taaarrraaaaa….!!!) beberapa jam berenang kami semua pulang ke homestay untuk membersihkan diri (tetep dengan budaya antri yg mulai terpupuk dalam hati), semua akhirnya tepar juga karena kelelahan.
Jam menunjukan pukul 13.00, kami semua terbangun dari mimpi karena harus shalat dzuhur dan makan siang, waktu yang terlalu sebentar untuk melepas lelah setelah treking & caving, tapi masih ada 1 tempat yang akan kami kunjungi yaitu TANJUNG LAYAR, dinamai seperti itu karena memang di situ berdiri 2 buah karang yang kokoh berbentuk seperti layar. Seperti biasa, naluri & insting narsis kami mulai kambuh, bahkan karang yg terjal dan tinggi itu pun coba dinaiki oleh beberapa teman, tujuannya hanya satu ‘untuk sekedar eksis & narsis’ di poto.
Tak terlalu lama kami menyusuri tanjung layer ini, karena memang tempatnya yang terbatasi karang, kami kembali ke homestay sambil menyusuri pantai dan melihat beberapa surfer bule yang sedang beraksi (kebanyakan yang surfing di sini memang surfer dari luar negri). Maunya masih terus menikmati pemandangan, tapi tiba2 gerimis mengundang dan memaksa kami untuk kembali ke homestay lebih cepat.
Sejenak beristirahat di homestay, teman2 yang lain kembali ke pantai untuk berenang, saya sendiri lebih memilih ngopi2 di rumah pemilik homestay.
Malam merambat, untuk mengisi waktu di malam terakhir petualangan kami, beberapa teman mengusulkan untuk membuat api unggun di pantai, dan akhirnya malam itu pun kami habiskan dengan 2 ekor ayam bakar, nyanyi2 (ga jelas sih sebenernya), dan sekedar saling memberikan kesan, pesan, ide dan usulan untuk tempat yang akan kami kunjungi selanjutnya.
Jam 23.00 kami semua kembali ke homestay untuk beristirahat.
Minggu 24 april 2011
Sebenarnya kami masih rindu suasana seperti ini, damai, tenang, keramahan dan senyum penduduk yang tulus, dan yang paling berkesan adalah kekompakan teman2 yang ikut perjalanan ini, walaupun sebelumnya kita hanya saling kenal dari dunia si maya, tapi kami begitu menyatu, saling peduli satu sama lainnya, hampir tak ada salah faham atau kekeliruan yang berarti di antara kami, semua begitu menjunjung tinggi solideritas dan musyawarah.
Pagi itu beberapa teman ada yang masih belum puas dan kembali ke pantai, padahal demi mengejar kereta menuju jogja, kami sepakat untuk memulai perjalanan pulang jam 07.00, tapi (lagi2) seperti biasa, ngaret sudah mendarah daging, kami baru bisa mulai jalan sekitar jam 07.45.
Elf yang kami pesan sebelumnya sudah menunggu di parkiran, karena ada beberapa teman lain yang ikut gabung akhirnya saya dan 3 teman lain memutuskan untuk menumpang di atas kabin elf daripada haruas desak2an (sebenernya sih emang udah niat..wkwkwk..), perjalanan pun dimulai, dengan naik di kabin niatnya sih pengen dapet gambar2 yang bagus buat poto2, tapi kenyataan berkata lain, di sepanjang jalan kami hampir harus selalu rebahan untuk menghindari batang2 pohon yang menjorok ke jalan, dan sepertinya pak supir lupa atau ga tau kalo di atas ada orang, hingga memacu kendaraan seenak udel nya, alhasil hanya sedikit gambar yang kami dapat dari atas kabin elf ini.
Sampai di terminal pelabuan ratu sekitar jam 10.00 (narsis tetep kambuh walaupun di terminal), perjalanan dilanjutkan dengan bis pelabuan ratu-bogor, menjelang pertigaan cibadak saya pamitan pada teman2, karena tak lama lagi saya harus turun dari bis.
Sampai jumpa lagi kawan, unforgettable experience…ditunggu ke sawarna2 lainnya..
Rincian biaya :
Bis MGI Bogor – Pelabuan Ratu : Rp. 25.000
Elf Pelabuan Ratu – Sawarna : Rp. 25.000
Homestay : Rp. 80.000/orang/hari (include 3x makan dll)
Retribusi masuk Desa Sawarna : Rp. 2.000/orang
Retribusi masuk Goa Lalay : Rp. 2.000/orang
Langganan:
Postingan (Atom)